Minggu, 21 Oktober 2012

Kayu bersertifikasi: apakah pasti lestari?


BOGOR, Indonesia (12 Mei, 2011)_Hampir 20 tahun yang lalu, sebuah cara baru untuk mendorong pengelolaan hutan secara lestari muncul, yaitu pemikiran mengenai sertifikasi yang independen. Pada awalnya dikembangkan dan dipromosikan oleh berbagai sektor masyarakat sipil sebagai respon dari kegagalan kronis pemerintah nasional dan kegagalan serangkaian pertemuan antar pemerintah untuk menghentikan degradasi dan hilangnya hutan. Dengan memenuhi serangkaian standar yang mencakup serangkaian isu teknis, lingkungan dan sosial, diharapkan kayu dan produk hutan lain dari “hutan bersertifikasi” akan memperoleh akses untuk pasar utama dan harga premium. Sehingga, hasil yang diharapkan adalah terwujudnya manfaat hutan yang berkesinambungan secara lokal maupun global. Namun demikian, studi yang dilakukan oleh ilmuwan CIFOR, Paolo Cerutti dkk di Kamerun yang merupakan negara kaya hutan menemukan bahwa kapasitas hutan untuk memproduksi kayu yang paling berharga dalam jangka waktu panjang sekaligus juga lestari – penebangan dengan cara yang tidak lestari masih bisa ditolerir meskipun sudah ada sertifikasi.
Sebelum beranjak lebih jauh, siapa sajakah yang terlibat dalam sertifikasi hutan? Terdapat tiga pihak utama yang terlibat. Pertama, mereka yang menetapkan standar dan menyediakan akreditasi bagi pihak pemberi sertifikasi. Dalam hal ini, Forest Stewardship Council (FSC) merupakan satu-satunya badan yang memiliki peran ini secara global. Sejak tahun 1993, sekitar 140 juta hektar hutan di dunia telah memiliki status sertifikasi dari FSC. Di Kamerun saja, hampir 800.000 hektar hutan saat ini memiliki sertifikasi FSC. Kedua, adalah para pengelola hutan perorangan, umumnya pemegang konsesi ataupun pemilik lahan berkayu yang mengajukan sertifikat untuk memenuhi sejumlah standar. Pihak ketiga adalah badan sertifikasi independen yang menilai apakah praktik-praktik para pengelola hutan sudah sesuai dengan standar yang berlaku.
Studi oleh Cerruti dkk ini tetap menunjukkan bahwa sertifikasi FSC masih berpotensi meningkatkan pengelolaan hutan tropis dalam kaidah-kaidah pengelolaan hutan nasional.  Namun demikian, penelitian ini juga mengungkapkan bahwa sejumlah perusahaan pembalakan dan badan sertifikasi memiliki cara yang berbeda dalam memenuhi atau menginterpretasikan pemenuhan standar-standar FSC. Akibatnya sampai saat ini, hanya tiga dari sepuluh hutan bersertifikasi di Kamerun yang melakukan penebangan dan ekspor kayu mereka yang paling berharga dengan menerapkan sejumlah teknik yang diharapkan mampu memastikan penebangan di masa mendatang setara dengan laju saat ini. Menurut Cerutti dkk, beberapa masalah yang muncul dikarenakan badan sertifikasi yang berbeda menggunakan standar yang berbeda pula: sebagian menggunakan peraturan nasional sebagai acuan dan sebagian lagi mengikuti sejumlah standar FSC yang lebih ketat, namun pada akhirnya memperoleh pelabelan FSC yang sama.
Untuk menghindari berkembangnya sertifikasi FSC “yang ditunggangi” dengan penerapan kaidah-kaidah yang lemah dan untuk meminimalisir subyektifitas internal badan sertifikasi, Cerutti dkk merekomendasikan Kamerun untuk mengembangkan sebuah standar yang seragam dan berbasis ilmiah. Di masa mendatang, ini akan memastikan keseragaman prosedur oleh badan sertifikasi yang akan menilai kepatuhan terhadap FSC untuk meningkatkan penyediaan kayu yang berjangka panjang dan lestari. Mengingat FSC memungkinkan penyesuaian standar global kelestarian mereka sesuai karakteristik hutan untuk negara tertentu, maka hal ini menjadi sangat mungkin dan sebenarnya, ini harus menjadi prioritas bagi Kamerun.
Hasil penemuan dari Cerutti dkk ini tidak berdiri sendiri. Di Amazon Brasil, Mark Schulze dkk menyimpulkan bahwa beberapa tahun yang lalu, sejumlah badan sertifikasi tidak selalu menerapkan tingkat kecermatan yang sama untuk berbagai perusahaan pembalakan selama proses sertifikasi. Pada masing-masing sisi, hal yang perlu diingat adalah bahwa ketersediaan jumlah kayu yang bernilai tinggi di masa mendatang dari hutan bersertifikasi mungkin tidak akan lestari, jika tidak dilakukan penyetaraan di lapangan antara perusahaan pembalakan dan badan sertifikasi pada saat mereka memberikan label FSC. Meski demikian, penelitian baru di Kamerun ini  merupakan yang pertama menilai efektivitas dari sertifikasi FSC untuk hutan di lembah sungai Kongo, di mana sekitar 30% dari daerah tersebut saat ini dialokasikan untuk konsesi kayu.
Ketika para peneliti, pembuat kebijakan dan pengelola hutan di hutan tropis mempertimbangkan apakah manfaat dari sertifikasi hutan yang selama ini diasumsikan adalah nyata, hasil penelitian dari Cerutti dkk ini mengingatkan kita akan pentingnya penilaian yang objektif atas standar FSC. Dengan kata lain, mungkin kita dapat membedakan antara perusahaan pembalakan yang bersertifikasi dengan yang tidak bersertifikasi; namun hingga saat ini, sebuah sertifikat FSC tidak serta merta berarti bahwa kayu telah ditebang secara lestari dan bahwa penebangan di masa mendatang serta hutan dari mana kayu berasal, akan terus terpelihara untuk masa depan.

0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:

Posting Komentar

sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???