Senin, 22 Oktober 2012

skripsi ANALISIS PERAN STAKEHOLDER DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KPH MODEL DI SULAWESI TENGAH



SKRIPSI



Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kehutanan (S. Hut) Pada Jurusan Kehutanan
Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako

Oleh :

JASRIN TALIB

L 111 05 005




JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2010



I.                   PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Pembangunan kehutanan berada di tengah-tengah perkembangan ekonomi, perkembangan daerah, perkembangan politik nasional dan lokal, serta perkembangan kebijakan global. Disamping itu, secara lebih sempit, pembaruan kebijakan pembangunan kehutanan juga berada di tengah-tengah perkembangan birokrasi, ketersediaan informasi, maupun dinamika berbagai kepentingan. Perhatian publik juga senantiasa melingkupi pelaksanaan pembaruan kebijakan kehutanan, mengingat hutan menjadi bentang alam yang secara langsung menjadi bagian dari kepentingan masyarakat luas.
Pemerintah selaku pemegang kebijakan, bertanggung jawab atas pemanfaatan sumberdaya hutan dan menjaganya agar tetap lestari. Upaya pemerintah untuk melakukan regulasi pemanfaatan hutan, melatar belakangi munculnya bebagai kebijakan sebagai pendukung pola pengelolaan hutan.
 Kebijakan pengelolaan hutan sering mengalami berbagai tantangan  dalam penerapanya. Hal tersebut sering terjadai akibat sulitnya mencari bentuk tata kelola yang dapat mengakomodir kompleksitas fungsi hutan, serta beragam kepentingan didalamnya, dengan tidak mengesampingkan prinsi-prinsip kelestarian (Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, 2008).
Sejak diterapkannya sistem pemerintahan otonomi daerah (otoda), pembangunan dan pengelolaan hutan memulai babak baru dalam aspek pengelolaanya. Dengan lahirnya Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang kemudian muncul dengan harapan menjadi dasar pengelolaan hutan sekaligus solusi pengelolaan yang lebih efisian namun tetap lestari, sebagaimana pada penjelasan pasal 17 ayat 1“Pemerintah pusat  atau Pemerintah Daerah diamanatkan untuk membentuk wilayah pengelolaan pada seluruh kawasan hutan  konservasi, lindung dan produksi” (Heru Komarudin, 2008)
Dalam Peraturan Mentri Kehutanan No. 6  Tahun  2009 menjelaskan, tahapan awal yang perlu dipersiapkan menuju terbangunnya kelembagaan KPH yang mantap adalah melalui perancangan KPH Model, yang dibangun dan dikembangkan sesuai dengan tipologi wilayah setempat.  KPH Model adalah wujud awal dari KPH yang secara bertahap dikembangkan menuju situasi dan kondisi  aktual KPH di tingkat unit pengelolaan (tapak). Dalam konteks ini, Pengertian “Model” di dalam KPH Model adalah  perwakilan atau abstraksi dari situasi aktual. “Model” dikatakan lengkap apabila dapat mewakili beberapa aspek dari realitas yang sedang dikaji.
Provinsi Sulawesi Tengah memiliki 21 unit KPH yang tersebar diseluruh kabupaten/kota di Sulawsi Tengah. Salah satunya yaitu wilayah KPH model Dampelas-Tinombo (unit V), berdasarkan kriteria pemilihan KPH model. Arahan  pengelolaannya adalah Model Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPH-P),  yang selanjutnya ditetapkan oleh mentri kehutanan melalui SK Mentri pada tanggal 14 desember 2009. 
KPH-P Model Dampelas-Tinombo (unit V) merupakan acuan pengembangan 20 Unit KPH lainnya di Sulawesi Tengah. KPH-P Model Dampelas-Tinombo ini tidak akan berjalan sesuai tujuan dari kebijakan pembangunan KPH apabila Stakeholder yang terkait tidak memahami wewenag dan tanggungjawabnya dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.
1.2    Rumusan Masalah
Dalam pencarian bentuk ideal konsep pengelolaan hutan berbagai kebijakan telah dibuat. Satu diantaranya adalah konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Dalam pembentukan KPH, juga telah banyak PP dan Permenhut untuk mempertegas pembentukannya. Namun penerapan kebijakan tersebut terkesan lambat, dan sampai saat ini belum diketahui apakah sudah terimplementasi sesuai konsep tahapan pembangunanya.
KPH-P-Model Dampelas-Tinombo sudah terbentuk setelah melalui tahapan berdasarkan pedoman pembentukan KPH, yaitu dari pencadangan awal hingga  ditetapkan sebagai satu kawasan KPH-P oleh pemerintah pusat. Namun sejauh ini belum ada informasi bagaimana perkembangan implementasi di lapangan, dan bagaimana peran stakeholder dalam pembangunan KPH model di Sulawesi Tengah.
1.3 Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk mencari informasi dan mendeskripsikan   perkembangan implementasi kebijakan, dan peran stakeholder dalam pembangunan KPH Model Dampelas-Tinombo. Sedangkan Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi perkembangan implementasi kebijakan, dan peran Stakeholder dalam pembangunan KPH Model Dampelas Tinombo.

II.  TINJAUAN PUSTAKA
2.1   Perubahan Undang-undang Kehutanan di Indonesia
            Lahirnya Undang-undang Kehutanan No. 41 1999 yang merupakan pembaruan dari Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5 1967 menyebabkan perubahan yang signifikan pada dukungan negara terhadap devolusi dalam pengelolaan hutan, dimana terjadi pengalihan kekuasaan kepada kesatuan subnasional seperti pemerintah daerah. Hal ini berbeda dari desentralisasi, yang meliputi pemindahan tempat kegiatan, tetapi bukan pengalihan kekuasaan atau wewenang. (Hariadi, 2003).
            Dalam Hariadi (2007) menjelaskan  perubahan Pembaruan kebijakan pada dasarnya memperbaiki norma, hak, dan batasanbatasan yang diatur. Pembaruan kebijakan tidak akan banyak berarti, apabila secara sosiologis tidak diikuti oleh prosesproses yang memungkinkan dicapainya kesepakatan bersama. Di sinilah tantangan akan muncul, terutama bagi kalangan birokrasi Pemerintah atau Pemerintah Daerah, yang biasanya terlalu kaku dan hanya melihat hitamputihnya suatu peraturan.
Dalam konteks ini pula dapat dikatakan keliru apabila ada yang beranggapan bahwa hanya dari pikiran seseorang yang lebih benar akan lebih baik dalam membuat suatu  kebijakan, dari pada dari pikiran banyak orang yang ternyata tidak lebih benar. Dianggap keliru karena nalar (reason), dalam pengertian menurut Habermas, bukanlah suatu proses logis untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan secara obyektif, melainkan proses untuk ”mendapatkan pemahaman dalam suatu konteks sosial” (de HavenSmith, 1988 dalam Parson, 2005).
2.2  Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan
Walter Williams (lihat Abdul Wahab. 1997) menyatakan bahwa besar kecilnya perbedaan antara apa yang  diharapkan (direncanakan) dengan apa yang  senyatanya dicapai dalam implementasi kebijakan, sedikit banyaknya akan tergantung  pada apa yang disebut  Implementation capacity  dari organisasi atau kelompok organisasi atau  aktor yang dipercaya untuk mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan. Implementation capacity tidak lain adalah  kemampuan suatu organisasi/aktor untuk melaksanakan keputusan kebijakan  (policy dicision) sedemikian rupa sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan dapat dicapai.
Hoogwood dan Gun (lihat Abdul Wahab,1997) menyatakan bahwa harus ada komunikasi dan koordinasi yang sempurna diantara pelbagai unsur atau badan yang terlibat dalam suatu program kebijakan.  Edward III (1980)  dalam Helis setiani (2005) juga mensinyalir bahwa dalam komunikasi ada beberapa hal yang mempengaruhi efektifitas dari komunikasi dan akan berpengaruh pula terhadap keberhasilan implementasi kebijakan antara lain adalah transmission (akurasi penerimaan panjang dan pendeknya rantai komunikasi) atau penyaluran komunikasi, konsistensi dan rincian tujuan komunikasi.
Selain itu Rhodes (1996) dan Stoker (1998) (lihat AbdulWahab, 1999), melihat bahwa dalam mensosialisasikan suatu kebijakan/program harus ada produk sinergi interaksional dari beragam aktor atau institusi yang terlibat.
Presman dan Wildavsky (1973) dalam Abdul Wahab (1997) yang juga mengingatkan bahwa proses implementasi kebijakan perlu mendapat perhatian yang seksama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa salah jika ada yang berasumsi bahwa proses implementasi kebijakan dengan sendirinya akan berlangsung tanpa hambatan. Selain itu masih dalam Abdul Wahab (1997) Udoji (1991) mengatakan dengan jelas bahwa pelaksanaan suatu kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan berupa impian atau rencana yang bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan).
Setyodarmodjo (2000) menjelaskan bahwa dalam suatu proses kebijakan, proses implementasi merupakan proses yang tidak hanya kompleks (complicated), namun juga hal yang sangat menentukan. Tidak sedikit kebijakan pemerintah yang sudah dirumuskan dengan sangat sempurna, namun gagal dalam implementasinya mencapai tujuan, hal ini salah satunya adalah terjadi karena dilakukan melalui cara-cara lain, tidak sesuai dengan pedoman dan juga disebabkan karena faktor-faktor subyektif para pelaksananya (policy actors) maupun dari masyarakat yang secara langsung atau tidak langsung terkena dampak dari kebijakan yang dimaksud.
2.3   Partisipatif dalam Implementasi Kebijakan
            Menurut Graham dan Phillips (1998) dalam Setiani (2005), ada dua bentuk partisipasi yaitu: 1) partisipasi yang melibatkan sejumlah orang dengan kontribusi individual yang kecil, disebut juga dengan partisipasi ekstensif (extensive participation). Keuntungan dari partisipasi ini adalah kesadaran tentang suatu isu yang dimunculkan pada masyarakat akan ditanggapi sesuai dengan kontribusi dan keterlibatan yang diberikan masyarakat, kekurangannya adalah karena orang yang terlibat banyak, dan kontribusinya sedikit, maka masyarakat tidak dapat diberdayakan; dan 2) partisipasi yang hanya melibatkan beberapa orang saja, tetapi tersedia waktu yang besar oleh partisipan, disebut juga partisipasi intensif (intensive participation), keuntungan bentuk partisipasi masyarakat ini adalah mampu atau dapat mengembangkan solusi inovatif dan dapat mencapai suatu konsensus.
Semangat perencanaan kehutanan partisipatif seperti yang terkandung dalam UU No. 41/1999 dan PP No. 6/2007 belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya karena masih lemahnya implementasi pembentukan pengelolaan dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Pada hal KPH inilah yang diharapkan sebagai wadah kegiatan pengelolaan hutan mencakup penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, perlindungan hutan dan konservasi hutan (Badan Planologi Kehutanan, 2007). 
2.4   Peraturan Perundangan Terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
Pembangunan KPH di Indonesia telah menjadi komitmen pemerintah dan masyarakat (para pihak), yang telah dimandatkan melalui UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No 44 Tahun 2004 tentang Perencanan Kehutanan dan PP No 6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Hutan, serta  yang bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari.
Dalam Alpinus patan (2008), Untuk  mewujudkan KPH pada tingkat tapak, Bongkar pasang peraturan yang menjadi dasarnya sudah berkali-kali dilakukan. Pada tingkatan Peraturan Pemerintah, PP No. 6 Tahun 2007 merupakan pembaharuan dari PP No. 34 Tahun 2004 yang menjadi acuan pembangunan KPH. Perubahan secara signifikan terhadap keberadaan PP No. 6 Tahun 2007 yaitu egaliter pengelolaan hutan atau adanya persamaan pengelolaan antara hutan produksi, lindung, dan konservasi.
2.4.1    Struktur KPH Dalam Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 2004
            Dalam Tujuan Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan Pembentukan wilayah pengelolaan hutan bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari.
a.      Hirarki Wilayah Pengelolaan
Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat :
a.       Provinsi;
Wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi terbentuk dari himpunan wilayah-wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/ kota dan unit-unit pengelolaan hutan lintas kabupaten/kota dalam provinsi.
b.      Kabupaten/Kota;
c.       Wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota terbentuk dari himpunan unit-unit pengelolaan hutan di wilayah kabupaten/kota dan hutan hak di wilayah kabupaten/kota.
Wilayah pengelolaan hutan provinsi dan kabupaten/kota merupakan wilayah pengurusan hutan di provinsi dan kabupaten/kota yang mencakup kegiatan-kegiatan:
         perencanaan kehutanan;
         pengelolaan hutan;
         penelitian dan pengembangan; pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan; dan
         pengawasan
d.      Unit pengelolaan.
Unit Pengelolaan Hutan merupakan kesatuan pengelolaan hutan terkecil  pada hamparan lahan hutan sebagai wadah kegiatan pengelolaan hutan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
b.      Wilayah Pengelolaan Tingkat Unit Pengelolaan (KPH)
Unit Pengelolaan Hutan terdiri dari :
         Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) pada hutan konservasi;
Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi merupakan kesatuan pengelolaan yang fungsi pokoknya dapat terdiri dari satu atau kombinasi dari Hutan Cagar Alam, Hutan Suaka Margasatwa, Hutan Taman Nasional, Hutan Taman Wisata Alam, Hutan Taman Hutan Raya, dan Hutan Taman Buru.
         Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) pada hutan lindung;
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung merupakan kesatuan pengelolaan yang fungsi pokoknya merupakan hutan lindung.
         Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) pada hutan produksi.
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi merupakan kesatuan pengelolaan yang fungsi pokoknya  merupakan hutan produksi.



c.       Kriteria Pembentukan Unit Pengelolaan
Unit Pengelolaan Hutan dibentuk berdasarkan kriteria dan standar yang ditetapkan oleh Menteri, yang mempertimbangkan :
1.      karakteristik lahan;
2.      tipe hutan;
3.      fungsi hutan;
4.      kondisi daerah aliran sungai;
5.      kondisi sosial, budaya, ekonomi masyarakat;
6.      kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat;
7.      batas administrasi pemerintahan;
8.      hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan;
9.      batas alam atau buatan yang bersifat permanen;
10.  penguasaan lahan.
                  Unit pengelolaan dibentuk sesuai dengan fungsi hutannya, dimana di dalam  pengelolaanya dapat mengakomodasikan kepentingan masyarakat.
d.      Prosedur Pembentukan
1)      KPHK
a.       Instansi Kehutanan Pusat di Daerah yang bertanggungjawab di bidang konservasi mengusulkan rancang bangun unit pengelolaan hutan konservasi berdasarkan kriteria dan standar yang ditetapkan oleh Menteri.
b.      Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud butir a, Menteri menetapkan arahan pencadangan unit pengelolaan hutan konservasi.
c.       Menteri menetapkan kesatuan pengelolaan hutan konservasi berdasarkan arahan pencadangan unit pengelolaan hutan konservasi).
2)      KPHP dan KPHL
                  Gubernur dengan pertimbangan Bupati/Walikota menyusun Rancang Bangun Unit Pengelolaan Hutan Lindung dan Unit Pengelolaan Hutan Produksi.
a.       Rancang Bangun Unit Pengelolaan Hutan disusun berdasarkan kriteria dan standar yang ditetapkan oleh Menteri.
b.       Rancang Bangun Unit Pengelolaan Hutan diusulkan oleh Gubernur kepada Menteri.
c.        Berdasarkan usulan sebagaimana butir b, Menteri menetapkan arahan pencadangan Unit Pengelolaan Hutan Lindung dan Unit Pengelolaan Hutan Produksi.
d.       Berdasarkan arahan pencadangan Unit Pengelolaan Hutan butir c, Gubernur membentuk Unit Pengelolaan Hutan Lindung dan Unit Pengelolaan Hutan Produksi.
e.        Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud butir d, disampaikan kepada Menteri untuk ditetapkan sebagai Unit Pengelolaan Hutan.
Dalam hal terdapat hutan konservasi  dan atau hutan lindung, dan atau hutan produksi yang tidak layak untuk dikelola menjadi satu unit pengelolaan hutan berdasarkan kriteria dan standar, maka pengelolaannya disatukan dengan unit pengelolaan hutan yang terdekat tanpa mengubah fungsi pokoknya.




e.       Institusi Pengelola
Pada setiap Unit Pengelolaan Hutan dibentuk institusi pengelola. Institusi pengelola bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan yang meliputi :
a.       perencanaan pengelolaan;
b.      pengorganisasian;p
c.       elaksanaan pengelolaan; dan
d.      pengendalian dan pengawasan.
Dalam pelaksanaan pengelolaan hutan, setiap unit pengelolaan hutan harus didasarkan pada karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bersangkutan.
f.       Rencana Pengelolaan Hutan
Penyusunan Rencana pengelolaan hutan yang meliputi Penyusunan Rencana Kesatuan Pengelolaan Hutan pada Unit Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Unit Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), dan Unit Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.
2.4.2    Struktur KPH Dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007
a.   Pengertian dan Posisi KPH, serta Pelimpahan Wewenang Pengelolaan
         Kesatuan Pengelolaan Hutan selanjutnya disingkat KPH, adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
         Kepala KPH adalah pimpinan, pemegang kewenangan dan penanggung jawab pengelolaan hutan di dalam wilayah yang dikelolanya.
         Seluruh kawasan hutan terbagi dalam KPH, yang menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
         Pemerintah dapat melimpahkan penyelenggaraan pengelolaan hutan kepada BUMN bidang kehutanan.
         Direksi BUMN yang mendapat pelimpahan membentuk organisasi KPH dan menunjuk kepala KPH.
         Penyelenggaran pengelolaan hutan oleh BUMN, tidak termasuk kewenangan Publik.
b.   Wilayah KPH

         Ditetapkan dalam satu atau lebih fungsi pokok hutan dan satu wilayah administrasi atau lintas wilayah administrasi pemerintahan.
         Dapat terdiri lebih dari satu fungsi pokok hutan, penetapan (nama) KPH berdasarkan fungsi yang luasnya dominan.
         Menteri menetapkan luas wilayah KPH dengan memperhatikan efisiensi dan efektifitas pengelolaan hutan dalam satu wilayah DAS atau satu kesatuan wilayah ekosistem.
c.   Organisasi KPH

        Pemerintah dan/atau pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota, sesuai kewenangan, menetapkan organisasi KPH.
        Dalam menetapkan organisasi, khusus SDM harus memperhatikan syarat kompetensi
         Pemerintah menetapkan organisasi :
        KPHK; atau
        KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya lintas provinsi.
         Pemerintah provinsi, menetapkan organisasi:
        KPHL dan KPHP lintas  kabupaten/kota.
         Pemerintah kabupaten/kota menetapkan organisasi:
         KPHL dan KPHP dalam wilayah kabupaten/kota
d.   Tupoksi

         menyelenggarakan pengelolaan hutan (5 kegiatan)
        Melakukan kegiatan tata hutan di KPH yan terdiri dari : tata batas; inventarisasi hutan; pembagian ke dalam blok atau zona; pembagian petak dan anak petak; dan pemetaan.
         menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan untuk diimplementasikan;
        menyusun rencana pengelolaan jangka panjang & pendek
         melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian;
        melaksanakan penugasan dari Menteri untuk menyelenggarakan pemanfatan hutan, termasuk melakukan penjualan tegakan pada wilayah tertentu
        melaksanakan pemberdayaan masyarakat
        bersama lembaga desa menyusun rencana pengelolaan hutan desa
        memfasilitasi penyusunan RKUPHHK dan RKT pada HTR
        mengusulkan satu kesatuan luas petak untuk izin penjualan tegakan HTHR
         melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya;
        tembusan ijin-ijin yang diterbitkan dalam rangka pemanfaatan hutan
        tembusan perpanjangan ijin-ijin pemanfaaatan hutan
        pengesahan rencana kerja tahunan (RKT) yang dibuat oleh pemegang izin pemanfaatan hutan
        menerima laporan hasil evaluasi RKUPHHK yg dilakukan pemegang izin setiap 5 tahun
         membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
e.       Pembangunan KPH
         Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangannya bertanggung jawab terhadap pembangunan KPH dan infrastrukturnya.
         Dana bagi pembangunan KPH bersumber:
-        APBN;
-        APBD; dan
-        dana lain yang tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
f.       Pembinaan dan Pengendalian
         Untuk tertibnya pelaksanaan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan;
-        Menteri, berwenang membina dan mengendalikan kebijakan bidang kehutanan yang dilaksanakan gubernur, bupati/walikota, dan/atau kepala KPH.
-        Gubernur, berwenang membina dan mengendalikan kebijakan bidang kehutanan yang dilaksankan bupati/walikota, dan/atau kepala KPH.
         Menteri, gubernur dan bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengendalian terhadap pelaksanaan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan yang dilaksanakan oleh kepala KPH atau pemanfaat hutan, dan/atau pengolah hasil hutan.
g.       Target Penetapan Wilayah KPH

Penetapan seluruh wilayah KPH diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun sejak tanggal diberlakukannya peraturan pemerintah ini.
·         Penetapan KPH oleh Menteri ditindaklanjuti dengan pembangunan kelembagaan KPH
·         Menteri menetapkan prioritas pembangunan kelembagaan KPH sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pengelolaan hutan.

2.5  Peranan Stakeholder
            Stakeholder adalah orang-orang yang mempunyai hak dan kewajiban dalam suatu system.  Istilah ”stakeholders” dimaksudkan semua yang mempengaruhi, dan atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan sistem tersebut.  Hal itu dapat bersifat individual, masyarakat, kelompok sosial atau institusi dalam berbagai ukuran, kesatuan atau tingkat dalam masyarakat.  Kelompok-kelompok pengguna yang saling terkait (stakeholder) dari satu sumberdaya itu secara kolektif.  Dengan demikian, pengelolaan  sumberdaya melibatkan banya stakeholder yang tentu saja menimbulkan perbedaan-perbedaan kepentingan.           Peranan analisis stakeholder adalah untuk menutupi kesenjangan dengan cara memberi suatu pendekatan yang mulai dengan kepentingan yang berbeda-beda dari bermacam-macam stakeholder.  Ada beberapa langkah dalam melakukan analisis peran stakeholder, yang pertama mengembangkan tujuan dan prosedur analisis dan pemahaman awal tentang system yang terkait, selanjutnya melakukan identifikasi stakeholder kunci, kemudian meneliti kepentingan dan lingkungan stakeholder, dan tahap akhir mengidentifikasi interaksi antar stakeholder  (Suporahardjo, 2005).
2.6  Empat R (Rights, Responsibilities, Revenues, Relationship)
The Four Rs (Empat R) adalah alat untuk memperjelas/memetakan peran yang dimainkan berbagai stakeholder dan karakter hubungan di antara mereka. Piranti Empat R ini berusaha untuk menjadikan istilah ’peranan’ lebih operasional dengan menerjemahkannya ke dalam Rights (hak), Responsibilities (tanggung jawab), Revenues (manfaat yang diterima) dan Relationship (hubungan) di antara para stakeholder.  Peran diartikan sebagai pola perilaku, kebiasaan dan respon, sebagai bagian yang harus dimainkan dalam suatu permainan.  Kerangka kerja Empat R menyediakan langkah-langkah yang diperlukan untuk menginternalisasi dan memperkuat peran stakeholder  dengan cara : pertama, mengidentifikasi peran atas komponen-komponen rights (hak-hak para stakeholder), responsibilities (tanggung jawab), revenues (manfaat atau keuntungan yang diperoleh) dan kemudian menjajaki dan mengidentifikasi relationship (hubungan atau relasi) diantara para stakeholder tersebut (Suporahardjo, 2005).
Rights
Responsibilities
Revenues
Relationships













III.  MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1.      Tempat dan waktu
Penelitian ini dilakukan Pada beberapa instansi yang terkait dengan Pembangunan KPH Model di Sulawesi Tengah diantaranya yaitu,  KPH Model Dampelas-Tinombo; Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah; Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Parigi Moutong; Dinas kehutanan dan Perkebunan Donggala; BP2HP; serta BPKH Provinsi Sulawesi Tengah, dengan bidang kajian utamanya masalah Peran stakeholder dalam Pengimplementasian kebijakan pembentukan KPH. Adapun lokasi penelitian di ke lima Instansi tersebut karena masing-masing instansi memiliki Tupoksi yang berbeda.  Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2010. 
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dokumen kebijakan terkait pembangunan KPH, dan dokumen teknis pembangunan KPH.  Alat yang digunakan adalah kuisioner, kamera sebagai sarana dokumentasi, alat tulis menulis, dan recorder sebagai alat bantu dalam pelaksanaan wawancara.
3.3  Metodologi Penelitian
3.3.1  Jenis dan Sumber Data
Jenis data terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer meliputi sejarah perkembangan implementasi kebijakan, dan peran stakeholder terhadap implementasi kebijakan pembangunan KPH Model di Sulawesi Tengah, Sedangkan data sekunder meliputi gambaran umum lokasi dan data-data lain yang menunjang penelitian.  Sumber data primer berasal dari  pengumpulan data melalui wawancara, dan  kuisioner. Sedangkan data sekunder berasal dari studi literature yang relevan dengan penelitian.

3.3.2   Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan terdiri atas studi literatur dan  wawancara mendalam. Studi literatur digunakan untuk menggambarkan perkembangan implementasi Kebijakan yang terkait dengan KPH dalam rentang waktu tertentu. Sedangkan wawancara mendalam (Indept interview) digunakan untuk mengidentifikasi stakeholder yang terkait dengan pembangunan KPH Model di Sulawesi Tengah, untuk tahap selanjutnya metode ini digunakan pula untuk mengumpulkan data-data menyangkut peran masing-masing stakeholder secara lebih rinci dan mendalam. 
Pemilihan informan secara purposive sampling yaitu dengan menggunakan informan kunci, yaitu dari pihak Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah, untuk menetukan informan selanjutnya dilakukan metode snowball sampling berdasarkan informasi dari informan awal. Setelah ditemukan beberapa dinas yang terkait dengan Pembangunan KPH Model, selanjutnya mencari staf intansi yang selama ini terlibat dalam pembangunan KPH Model dari tiap-tiap dinas.



3.3.3   Analisis Data.
1.      Analisis Perbandingan
Analisis perbandingan bertujuan untuk membandingkan substansi kebijakan dan implementasi dilapangan. Mulai dari kebijakan pengelolaan hutan berdasarkan mekanisme yang diterapkan dalam pengimplementasian sebuah kebijakan yang dilihat dari aturan-aturan yang dikeluarkan, dari undang-undang, peraturan pemerintah, permenhut, sampai pada surat keputusan penetapan KPHP Model Dampelas Tinombo.
2.      Analisis Stakeholder
Analisis stakeholder merupakan pendekatan dan prosedur untuk mencapai pemahaman suatu system dengan cara mengidentifikasi aktor-aktor kunci atau stakeholder kunci didalam system dan menilai kepentingan masing-masing didalam system tersebut (Supraharjo, 2005).
Analisis untuk memperjelas/memetakan peran yang dimainkan berbagai stakeholder dengan karakter hubungan diantara mereka adalah The Four Rs (Empat R) yaitu Rights (hak), Responsibilities (tanggung jawab), Revenues (manfaat yang diterima) dan Relationship (hubungan) di antara para stakeholder. Kerangka kerja Empat R menyediakan langkah-langkah yang diperlukan untuk menginternalisasi dan memperkuat peran stakeholder  dengan cara : pertama, mengidentifikasi peran atas komponen-komponen rights (hak-hak para stakeholder), responsibilities (tanggung jawab), revenues (manfaat atau keuntungan yang diperoleh) dan kemudian menjajaki dan mengidentifikasi relationship (hubungan atau relasi) diantara para stakeholder tersebut (Suporahardjo, 2005).


 



Rounded Rectangle: Stakeholder                                  
                                                                                              


 


 








Gambar 1.  Bagan alir tahapan analisis peran Stakeholder
Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1.  Analisis Data
No
Analisis
Tujuan
Teknik Pengumpulan Data
1
Perbandingan
Mengungkap perkembangan implementasi kebijakan pembangunan KPH Model di Sulawesi Tengah
Wawanca mendalalam untuk mengetahui dan menggali informasi mengenai perkembangan implementasi kebijakan pembangunan KPH Model di Sulawesi Tengah
2
Empat R
Untuk mengetahui peran dan hubungan masing-masing stakeholder
Wawancara mendalam untuk mengetahui lebih dalam lagi peran masing-masing stakeholder




3.4  Konsep Operasional
1.     Kesatuan Pengelolaan Hutan selanjutnya disingkat KPH, adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
2.     KPH Model yaitu wujud awal dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang secara bertahap dikembangkan menuju situasi dan kondisi  aktual KPH di tingkat unit pengelolaan (tapak).
3.  Stakeholder yaitu orang-orang yang terkait dengan imlementasi kebijakan pembangunan KPH Model di Sulawesi Tengah.
4.    Peran meliputi hak, tanggung jawab dan hasil yang dimainkan atau diperoleh stakeholder dalam imlementasi kebijakan pembangunan KPH Model.
5.   Analisis Peran yaitu penyelidikan mengenai peran tiap-tiap stakeholder dalam pembangunan KPH di Sulawesi Tengah melalui Empat R (Rights, Responsibilities, Revenue, dan Relationship)









IV.  GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1       Luas dan Fungsi Kawasan Hutan
Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Sulawesi Tengah (SK Menhut No. 757/Kpts-II/1999, tanggal 23 September 1999), Provinsi Sulawesi Tengah memiliki kawasan hutan seluas 4.394.932 ha dan Non Kawasan Hutan seluas 2.408.3 68 ha. Luasan tersebut terdiri atas:
 Tabel 2. Fungsi dan Luas Kawasan Hutan  Provinsi Sulawesi Tengah
Fungsi Kawasan
Luas (Ha)
Kawasan Lindung
2.166.171
-       Suaka Alam dan Pelestarian Alam
676.248
-       Hutan Lindung (HL)
1.489.923
Kawasan Budidaya
2.228.761
-       Hutan Produksi Terbatas (HPT)
1.476.318
-       Hutan Produksi Tetap (HP)
500.587
-       Hutan Produksi Konversi (HPK)
251.856
Luas Kawasan Hutan
4.394.932
Kawasan Budidaya (non kawasan  Hutan)
2.408.368
-   Areal Penggunaan Lain (APL)
2.408.368
Luas Non Kawasan Hutan:
2.408.368
Total  Luas Wilayah Provinsi Sulawesi Tengah:
6.803.300
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah 2007
Sementara itu, luas Kawasan Hutan di Kabupaten Donggala berdasarkan Penunjukkan Kawasan Hutan Provinsi Sulawesi Tengah adalah 708.078 ha dan Non Kawasan Hutan seluas 318.254 ha, yang terdiri atas:

Tabel 3. Fungsi dan Luas Kawasan Hutan, Donggala Provinsi Sulawesi Tengah
Fungsi Kawasan
Luas (Ha)
Kawasan Lindung
368.731
-       Suaka Alam dan Pelestarian Alam
135.736
-       Hutan Lindung (HL)
232.995
Kawasan Budidaya
339.347
-       Hutan Produksi Terbatas (HPT)
294.427
-       Hutan Produksi Tetap (HP)
11.624
-       Hutan Produksi Konversi (HPK)
33.296
Luas Kawasan Hutan
708.078
Kawasan Budidaya (non kawasan  Hutan)
318.254
-   Areal Penggunaan Lain (APL)
318.254
Luas Non Kawasan Hutan:
318.254
   Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah 2007
Demikian pula halnya dengan luas Kawasan Hutan Kabupaten Parigi Moutong, dimana berdasarkan Penunjukkan Kawasan Hutan Provinsi Sulawesi Tengah adalah seluas 396.236 ha dan Non Kawasan Hutan seluas 207.301 ha, yang terdiri atas:
Tabel 4.  Fungsi  dan  Luas  Kawasan  Hutan  Kabupaten  Parigi  Moutong                              Provinsi Sulawesi Tengah
Fungsi Kawasan
Luas (Ha)
Kawasan Lindung
223.354
-       Suaka Alam dan Pelestarian Alam
60.714
-       Hutan Lindung (HL)
162.640
Kawasan Budidaya
172.882
-       Hutan Produksi Terbatas (HPT)
127.607
-       Hutan Produksi Tetap (HP)
22.467
-       Hutan Produksi Konversi (HPK)
22.808
Luas Kawasan Hutan
396.236
Kawasan Budidaya (non kawasan  Hutan)
207.301
-   Areal Penggunaan Lain (APL)
207.301
Luas Non Kawasan Hutan:
207.301
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah 2007



4.2       Deskripsi Wilayah KPH-P Model
a. Letak, Luas, dan Status Kawasan
Mengacu pada kriteria pemilihan KPH-P model, adalah Kecamatan Balaesang dan Sojol. Sedangkan  wilayah yang masuk Provinsi Sulawesi Tengah menetapkan satu wilayah KPH-P model (1 unit wilayah KPH-P) Dampelas-Tinombo (unit V). Berdasarkan administrasi pemerintahan, KPH-P Dampelas-Tinombo (Unit V) berada di dua Kabupaten, yaitu Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi-Moutong. Wilayah yang masuk di dalam Kabupaten Donggala adalah Kecamatan Balaesang, Damsol dan Sojol, dan di Kabupaten Parigi-Moutong adalah Kecamatan Tinombo dan Tinombo Selatan. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Wilayah Administrasi KPH-P Model Dampelas-Tinombo (Unit V)
No
Kab. Donggala
Luas (Km2)
No
Kab. Parigi-Moutong
Luas (Km2)
1.
2.
3.
Kecamatan Balaesang
Kecamatan Sojol
Kecamatan Damsol
612,57
872,02
600,70
4.
5.
Kecamatan Tinombo
Kecamatan Tinomobo Selatan

592,79

391,23
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah 2008              
            Secara geografis KPH-P Unit V berada pada posisi: 119° 53’ 15” s.d 120° 14’ 53” BT dan  0° 05’ 57” s.d 0° 28’ 13” LU. Berdasarkan administrasi pengelolaan hutan berada di dalam wilayah Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Donggala dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Parigi Moutong.
Gambar 2. Peta Fungsi Kawasan Hutan KPH-P Model Dampelas-Tinombo (Unit V)
            Bila dilihat dari keberadaannya pada wilayah Daerah Aliran Sungai, lokasi KPH-P Model berada di dua DAS, yaitu: wilayah DAS Tawaili-Sampaga (± 458.399,85 ha), dan wilayah DAS Towera-Lambunu (358.720,46 ha). Berdasarkan fungsi kawasan hutan, KPH-P Dampelas-Tinombo (Unit V) terdiri atas:
Tabel 6. Fungsi Kawasan Hutan di KPH-P Model (KPH-P Dampelas-Tinombo)
 Fungsi Kawasan
Luas (Ha)
Kawasan Lindung
28.461,53
-       Hutan Lindung (HL)
28.461.53
Kawasan Budidaya
74.747,13
-       Hutan Produksi Terbatas (HPT)
65.293,32
-       Hutan Produksi Tetap (HP)
9.453,81
Luas Kawasan Hutan
103.208,53
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah 2008

b. Keadaan Fisiografi
Kecamatan Balaesang terletak pada ketinggian 1 - 550 meter dari permukaan laut, di mana sebagian terbesar Wilayahnya didominasi oleh pegunungan. Demikian halnya dengan kecamatan Sojol terletak pada ketinggian 1 - 2.570 meter dari permukaan laut, dengan persentase terbesar wilayahnya adalah pegunungan.  Sedangkan di Kecamatan Damsol terletak pada ketinggian 1 -.1.000 meter di atas permukaan laut. Sementara itu di Kecamatan Tinombo, ketinggian tempat dari permukaan laut antara 0 – 1.865 meter. Persentase terbesar wilayahnya adalah pegunungan. Berbeda dengan kecamatan Tinombo Selatan, dimana sebagian besar wilayahnya tergolong datar, dengan ketinggian tempat antara 1 - 850 meter dari permukaan laut.
a.      Keadaan Iklim
Tipe iklim di wilayah rencana KPH-P model Dampelas-Tinombo secara umum memiliki tipe iklim A menurut kelasifikasi Scmith dan Ferguson. Dari data Stasiun Pengamat Iklim Stasiun Meteorologi Kayu Agung (Kotaraya) priode tahun 1995 - 2005 yang merupakan stasiun klimatologi terdekat dengan daerah Tinombo diketahui bahwa curah hujan tahunan di daerah ini rerata 2.993 mm/tahun dengan hari hujan 211 hari per tahun.  Curah hujan maksimum sebesar 228,60 mm terjadi pada bulan Oktober sampai dengan Mei dengan lama hujan rata-rata 18 hari hujan/bulan, sedangkan curah hujan minimum terjadi sebesar 69,90 mm pada bulan Agustus dengan lama hujan 7 hari.
Selanjutnya berdasarkan hasil pengamatan dari dua stasiun penakar curah hujan yang ada dalam wilayah Dampelas ds dalam periode 10 tahun, yaitu Stasiun Pengamat  Curah Hujan BPP Tompe (periode tahun 1991-2000), maka menurut klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson bertipe iklim A (rerata curah hujan tahunan masing-masing 2.780 mm/thn, dengan nilai Q = 0%).  Dari data tersebut, jumlah bulan basah sebanyak 12 bulan, dengan curah hujan tertinggi dicapai pada bulan Nopember-Desember, dan terendah pada bulan Juli-Agustus.
d. Keadaan Hidrologi
            Lokasi KPH-P Model berada di dua DAS, yaitu: wilayah DAS Tawaili-Sampaga dan wilayah DAS Towera-Lambunu. Sungai-sungai yang terdapat di lokasi model antara lain:
-          Untuk wilayah KPH-P model Tinombo yang tercakup dalam wilayah DAS Towera-Lambunu terdapat sungai-sungai utama seperti; Sungai Tinombo, Bainaa, Sidoan, Maninili dan Tada. Sungai-sungai ini mengalirkan airnya ke Teluk Tomini.
-          Untuk wilayah KPH-P model Dampelas yang tercakup dalam wilayah DAS Tawaili-Sampaga terdapat sungai-sungai utama seperti; Sungai Taipa, Silandoya, Panii, Sioyong, dan Sibayu. Sungai-sungai ini mengalirkan airnya ke Selat Makassar.
           
Umumnya sungai-sungai di wilayah rencana KPH-P model Dampelas-Tinombo memiliki pola aliran dendritik dan parallel. Sungai-sungai yang ada umumnya mengalirkan air sepanjang tahun dengan dasar sungai dangkal dan berbatu.
e.       Keadaan Flora dan Fauna
Vegetasi Alami: Pada kawasan rencana KPH-P model Dampelas-Tinombo terdapat beberapa jenis vegetasi hutan yang dapat diidentifikasi seperti: Eboni (Diospyros celebica Bakh), Binuang (Octomeles sumatrana), Dahu (Dracontaleon dao), Nyatoh (Palaquium sp), Palapi (Terrietia javanica), Meranti (Shorea sp), Ketapang (Terminalia catappa), Jabon (Anthochepalus cadamba), Cempedak, Enau (Arenga pinnata) dan jenis palem lainnya. Sedangkan jenis tumbuhan bawah yang dapat dijumpai adalah Rotan (Calamus sp), Bambu Hutan (Bambusa sp), Rerumputan/Alang-alang, Paku-pakuan, Liana dan jenis tumbuhan bawah lainnya.
Secara umum di lokasi Hutan Produksi telah mengalami kerusakan vegetasi sebagai akibat aktifitas HPH, perambahan hutan, pemanfaatan lahan untuk lahan kering yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah serta sistim perladangan secara tebang bakar yang terus berlanjut sampai saat ini. Kondisi seperti itu memberikan gambaran bahwa interaksi hutan dengan masyarakat sekitarnya sebagai penyangga kehidupan sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Vegetasi buatan:  Vegetasi buatan yang dimaksud adalah hasil budidaya tanaman. Jenis-jenis tanaman yang banyak dibudidayakan masyarakat adalah jenis tanaman pangan (padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan kacang-kacangan), jenis tanaman sayuran-sayuran (cabe, kacang panjang), jenis tanaman buah-buahan (semangka, rambutan, jeruk, langsat, pisang, dsb.).  Selain tanaman pangan, juga banyak diusahakan tanaman perkebunan (Kakao, Cengkeh, Kelapa dalam, Kopi, Jambu mete, dsb), tanaman kayu-kayuan (Jati super, Sengon, Gmelina, dsb.), dan tanaman MPTS  (Kemiri, sukun, durian, mangga, nangka, dsb.).
Jenis Fauna: Jenis-jenis satwa yang terdapat adalah Monyet Hitam (Macaca sp), Tupai (Tupaia sp), Babi Hutan (Sus celebensis), Bajing (Callosciurus notetus), Ular Sawah (Phyton recticulantus), Burung Gagak (Corvus sp), Burung Nuri (Trichoglossus ornatus), Kakatua (Cacatua sulphurea) dan Burung Elang (Haliastorindus sp), dan satwa lainnya.
f.    Penutupan Lahan
Dari hasil analisis citra Landsat 7 ETM Band 542 perekaman tahun 2006, KPH-P Unit V memiliki penutupan lahan sbb.: tutupan awan seluas 235,98 Ha, hutan tanah kering primer seluas 46.798,44 Ha, hutan tanah kering sekunder seluas 43.338,72 Ha, eks. HTI seluas 1.000,22 Ha, pertanian lahan kering campur semak seluas 2.189,34 Ha, sawah seluas 296,79 Ha, dan semak belukar seluas 3.832,72 Ha.





 
Gambar 3. Peta Liputan Lahan Lokasi KPH-P Model Dampelas-Tinombo (Unit V)
g.    Aksesibilitas
Aksesibilitas di dalam dan di sekitar areal KPH-P model secara umum cukup memadai. Sebagian besar desa-desa di sekitar lokasi memiliki aksesibilitas yang baik, dan terjangkau, baik dengan kendaran roda dua maupun roda empat.  Kondisi ini sangat menunjang rencana pengembangan areal KPH-P model.
h.    Keadaan Sosial, Budaya dan Ekonomi Masyarakat
1). Keadaan penduduk
Seperti diuraikan sebelumnya, areal model KPH-P Dampelas-Tinombo berbatasan langsung dengan lima kecamatan, yaitu kecamatan Balaesang, Damsol dan Sojol kabupaten Donggala, serta kecamatan Tinombo dan Tinombo Selatan kabupaten Parigi Moutong. Secara rinci keadaan penduduk di kelima kecamatan  disajikan pada Tabel 7.
Tabel  7.  Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kecamatan Sekitar Areal KPH-P Model
No
Kecamatan
Luas (Km2)
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
Seks
Rasio
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1
Balaesang
612,57
16.168
15.326
31.496
105
2.
Sojol
872,02
17.037
16.997
34.034
100
3.
Damsol
600,70
14.614
14.450
29.064
101
4.
Tinombo
529,79
15.905
14.806
30.711
107
5.
Tinombo Selatan
391,23
11.731
10.935
11.666
107
Sumber: BPS Kabupaten Donggala dan Parigi Moutong 2007

Selanjutnya apabila dilihat dari luas wilayah masing-masing kecamatan, maka dapat dihitung kerapatan jumlah penduduk per kilometer persegi secara geografis, sbb.:
-          Kecamatan Balaesang dengan kerapatan penduduk sebesar 51 jiwa/km2.
-          Kecamatan Sojol dengan kerapatan penduduk sebesar 40 jiwa/km2.
-          Kecamatan Damsol dengan kerapatan penduduk sebesar 48 jiwa/km2.
-          Kecamatan Tinombo dengan kerapatan penduduk sebesar 52 jiwa/km2.
-          Kecamatan Tinombo Selatan dengan kerapatan penduduk sebesar                  58 jiwa/km2. 
Dari hasil perhitungan di atas, diketahui bahwa kecamatan dengan kerapatan penduduk secara geografis tertinggi adalah kecamatan Tinombo Selatan, diikuti kecamatan Tinombo, Balaesang, Damsol dan Sojol.
Keadaan tenaga kerja di kecamatan sekitar areal model KPH-P tergolong cukup potensial. Hal ini dapat dilihat jumlah penduduk umur produktif (15 s.d. 55 tahun) yang tergolong potensial. Di kecamatan Balaesang, Damsol dan Sojol masing-masing sebesar 52,66%, 60% dan 53,3% dari total jumlah penduduknya. Sementara itu di kecamatan Tinombo dan Tinombo Selatan masing-masing sebesar 52,39% dan 52,42% dari total jumlah penduduknya. Selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Keadaan Tenaga Kerja Produktif di Lima Kecamatan Sekitar Areal KPH-P Model
No
Kecamatan
Tenaga Kerja Produktif (Jiwa)
Umur 15 s.d 55 tahun
Persentase (%)
1
Balaesang
16.586
52,66
2.
Sojol
18.157
53,35
3.
Damsol
17.440
60,00
4.
Tinombo
16.091
52,39
5.
Tinombo Selatan
11.882
52,42
Sumber: BPS Kabupaten Donggala dan Parigi Moutong 2007
Sementara itu, keadaan penduduk di empat kecamatan menurut pekerjaan utama disajikan pada Tabel 9  sebagai berikut:
Tabel 9. Keadaan Penduduk di Sekitar Areal KPH-P model Menurut Pekerjaan Utama

No

Kecamatan
Mata Pencaharian Penduduk

Jumlah
Petani
Nelayan
Swasta
PNS/ABRI

1
Balaesang
8.919
767
2.420
399
12.505
2
Sojol
8.291
676
66
126
 9.159
3.
Damsol
16.015
557
468
400
    17.440
4
Tinombo
10.389
767
1.105
609
    14.435
5
Tinombo Selatan
8.024
753
  855
219
 9.851
 Sumber: BPS Kabupaten Donggala dan Parigi Moutong 2007
Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk bermata pencaharian petani (termasuk buruh tani) mendominasi di seluruh kecamatan yang ada di sekitar areal KPH-P model. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa ketergantungan sebagian besar masyarakat terhadap sumberdaya lahan dan hutan tergolong tinggi.
2). Keadaan Penggunaan Lahan
Keadaan penggunaan lahan pada lima kecamatan di dalam dan di sekitar areal KPH-P model Dampelas-Tinombo disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10.  Keadaan Penggunaan Lahan di Lima Kecamatan Sekitar Areal KPH-P Model
No.
Jenis Penggunaan
Lahan
Luas (Ha)
Balaesang
Sojol
Damsol
Tinombo
Tinombo Selatan
1.
Permukiman
442,95
572
ND
1.327
110
3.
Sawah irigasi
1.662
4.322,7
3.592,50
370
1.973,75
4.
Sawah tadah hujan
238,5
105
ND
43
135
5.
Sawah desa
120
ND
268,00
54
ND
7.
Kebun
715,5
8.883,87
9,465.00
6.188,75
2.328
8.
Ladang/Huma
ND
3.647,96
ND
1.447
348
9.
Tambak
57,25
64,5
ND
26
16
10
Hutan Negara
ND
66.820,27
ND
ND
ND
11
Kolam
2
ND
ND
2
ND
14
Perkebunan
11.812,5
ND
ND
ND
ND
15
Lainnya
41.593
2.106
ND
ND
57

Jumlah
56.643,7
87.504,7
13,325.50
9.457,75
4.967,75
  Sumber: BPS Kabupaten Donggala dan Parigi Moutong 2007 (ND = Non Data).
Dari Tabel 10 di atas, secara keseluruhan penggunaan lahan untuk lahan kebun masih mendominasi, khususnya di kecamatan Tinombo dan Tinombo Selatan, masing-masing sebesar 65,44% dan 46,86%. Sementara untuk kecamatan Balaesang, penggunaan lahan untuk sektor perkebunan mendominasi sebesar 20,85%.


V.  HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1  Perkembangan Kebijakan Pembangunan KPH
            Dari Hasil Studi literatur yang dilakukan maka didapatkan kebijakan yang terkait dengan pembangunan KPH, yaitu sebagaimana dalam bagan berikut :


 











Gambar 4. Bagan Perkembangan Kebijakan Pembangunan KPH
Konsep KPH sebenarnya mulai diwacanakan sejak diberlakukannya UU No. 5/1967, yang pada masa itu diartikan sebagai Kesatuan Pemangkuan Hutan, sebagaimana diterapkan dalam pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani di Pulau Jawa.  Setelah perubahan UU No.5 /1967 menjadi UU 41/1999 konsep KPH
kembali dimunculkan dengan Istilah “pemangkuan”  berubah menjadi “Pengelolaan”, perubahan undang-undang tersebut kemudian diikuti yang oleh beberapa peraturan pemerintah dan peraturan Mentri yang mengatur tentang Kesatuan Pengelolaan Hutan.
            Beberapa Peraturan yang merupakan runutan dari Undang-undang 41/1999 seperti yang ditampilkan dalam bagan diatas diantaranya adalah PP No. 44 tahun 2004, PP No. 6 tahun 2007 dan yang dikembangkan selanjutnya adalah PP No. 3 Tahun 2008 yang merupakan penyempurnaan PP No. 6 tahun 2007.
 Kebijakan pembangunan kehutanan yang diamanatkan dalam UU No. 41 tahun 2009 adalah besarnya keterlibatan masyarakat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan termasuk dalam konsep Pembangunan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) sebagaimana pada penjelasan pasal 17 ayat 1“Pemerintah pusat  atau Pemerintah Daerah diamanatkan untuk membentuk wilayah pengelolaan pada seluruh kawasan hutan  konservasi, lindung dan produksi”.
Tahapan seanjutnya munculah PP 44 Th 2004 tentang perencanaan kehutanan yang lebih memperjelas pembangunan KPH, pada pasal 26 ayat 1 menjelaskan tentang tujuan Pembentukan KPH yaitu “untuk menyediakan wadah bagi terselenggaranya kegiatan pengelolaan hutan secara efisien dan lestari”. Pembangunan meliputi Pembentukan unit wilayah pengelolaan hutan (KPH), dengan tahapan Rancang Bangun (Gubernur dengan pertimbangan Bupati ), Arahan (Menteri), Pembentukan (Gubernur) sampai pada tahap akhir Penetapan (Menteri), hal ini diatur dalam Pasal 29 dan 30 PP 44 Th 2004. 
Berikutnya diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan pemerintah No. 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusnan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.
Perubahan yang signifikan dari PP No. 6 tahun 2007 yaitu dari 144 pasal, sebanyak 38 pasal mengalami perubahan. Di antaranya terdapat 6 pasal tentang KPH yakni pasal 6,7,8.13,14 dan 141 (Badan Planologi Kehutanan, 2007)
Badan Planologi Kehutanan juga menjelaskan bahwa Pokok-Pokok Perubahan di dalam PP 3/2008 terkait KPH dan rencana pengelolaan hutan yaitu Penegasan perbedaan istilah PENETAPAN pada “Penetapan Wilayah KPH” dengan “Penetapan Kawasan Hutan”;Wilayah KPH yang semula dalam satu wilayah DAS atau satu kesatuan wilayah ekosistem menjadi tidak harus dalam satu wilayah DAS atau satu kesatuan wilayah ekosistem; Penetapan semua jenis organisasi KPH (berdasarkan fungsi pokok hutan maupun di dalam atau lintas wilayah administrasi pemerintahan) dilaksanakan oleh Menteri (disesuaikan dengan PP 38/2008); Rencana pengelolaan jangka panjang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, yang semula dilakuan secara berjenjang oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota ; Perpanjangan penyelesaian penetapan wilayah KPH dari 2 (dua) tahun menjadi 3 (tiga) tahun.
Kebijakan yang juga terkait dalam pembangunan KPH yaitu PP. No. 38/2007 Tentang pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah daerah Provinsi, Pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Kebijakan tersebut mengatur lebih lanjut tentang pembentukan KPH yang melibatkan pemerintah daerah sampai pemerintah Pusat pada sub bidang 8. Tentang pembentukan wilayah KPH. Sedangkan pada Permenhut No.P.6/Menhut-II/2009 tentang pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) terdapat 16 pasal.



5.2   Proses Implementasi Kebijakan  Pembangunan  KPH Model Unit V  Dampelas Tinombo  Sulawesi Tengah

            Dari Hasil studi literature dengan menggunakan beberapa dokumen pembentukan KPH Model serta wawancara mendalam dengan kepala KPH maka proses pembentukan KPH Model di Sulawesi Tengah dapat dilihat dalam Tabel 11, sebagai berikut :
Tabel 12.   Rencana Kegiatan dan Pencapaian Target  Pembentukan Unit KPH Model Dampelas-Tinombo
Rencana Kegiatan
Pencapaian Target (Tahun)
2008
2009
2010
2011
2012






Rancang bangun KPH
SK. Gubernur dan Sosialisasi Rancang bangun
Implementasi dan review sesuai P.6 Menhut-II/2009
Implementasi
Implementasi
Implementasi dan Evaluasi
Arahan pencadangan
KPH
Rekomgub  dan Usul ke Menhut dan Menhut Menetapkan Arahan Pencadangan
Implementasi
Implementasi
Implementasi
Implementasi dan Evaluasi
Pembentukan
 Wilayah KPH
Usulan Gubernur bentuk wilayah KPH
surat No.522.21/189/dishutda tanggal 18 Mei 2009



Penetapan bentuk wilayah KPH
Rekomgub
dan Usul ke Menhut
Menhut Menerbitkan SK wilayah KPH dan No.SK-792/Menhut-II/09 tgl 7/12/2009
Implementasi
Menhut Menerbitkan SK KPH (hasil penyesuaian)
Implementasi
Sosialisasi, koordinasi dan Publikasi KPH
Terciptanya dukungan publik (hasil rancangan model KPH)
Terciptanya dukungan publik (hasil action plan)
Mantapnya dukungan publik
Semakin mantapnya dukungan publik
Evaluasi
Sumber : KPH Model Dampelas-Tinombo Unit V
            Tahapan pembentukan KPH sebagaimana dalam table tersebut diatas didasarkan pada  PP No. 6 tahun 2007 pasal 29 terkait Pembentukan unit wilayah pengelolaan hutan (KPH) yaitu  Rancang Bangun (Gubernur dengan pertimbangan Bupati ), arahan (Menteri), pembentukan (Gubernur), dan Penetapan (Menteri)
            Pada tahapan Rancang bangun, gubernur melalui dinas Kehutanan provinsi Sulawesi Tengah disertai pertimbangan Bupati Parigi moutong dan Bupati Donggala, melakukan penyusunan rancangan pembangunan KPH model disulawesi tengah berdasarkan arahan dari mentri yang tertera pada Kepmenhut No. 230/Kpts-II/2003 dan Kep. Ka Baplan No. SL.14/VII-PW/2004  tentang  Pedoman Pelaksanaan Pembentukan KPHP.
            Lebih lanjut dalam Renstra Kementrian kehutanan tahun 2005-2009, di targetkan pada tahun 2009 dapat terbangun 1 (satu) unit KPH di setiap Provinsi.  Untuk mencapai target tersebut dimulai dengan membangun KPH Model di setiap Provinsi pada tahun 2006 dan 2007 serta pemantapan model pada tahun 2008, sehingga tahun 2009 model tersebut dapat ditetapkan sebagai KPH (Dishut Provinsi Sulteng, 2008).
Tahapan Berikutnya pada tahun 2009 Mentri Kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 792/Kpts-II/2009 tanggal 7 Desember 2009 tentang Penetapan KPHP Model Dampelas Tinombo Kab. Donggala dan Kab. Parigi Moutong Prov. Sulteng  menetapkan KPH Model Dampelas-Tinombo (unit V), yang terletak di Lintas Kabupaten Donggala-Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah.
            Tabel diatas juga menjelaskan, bahwa tahapan dibentuknya KPH model di Sulawesi Tengah dimulai pada Tahun 2008 melalui SK Gubernur dan ditetapkan mentri kehutanan pada tahun 2009, sementara dalam UU No. 41 1999 sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumnya (lihat : 5.1), menjelaskan sudah berselang  10 tahun setelah UU tersebut diterbitkan,  olehnya dapat dikatakan bahwa penerapan kebijakan tersebut terskesan lamban.
Hal tersebut disebabkan oleh sumberdaya pelaksana kebijakan pemnbentukan KPH. Sebagaimana menurut Islamy (1997) tidak bisa terlepas dari sumberdaya yang memadai bahwa para pelaksana harus disuplai dengan resources yang cukup, seperti human resources (staf dalam jumlah dan kualifikasi yang memadai dengan hak dan kewajibannya sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya), financial resources, technolo-gical resources, maupun psychological resources. Jika mengacu pada pendapat ini, maka pada implementasi kebijakan Pembangunan KPH Model di Sulawesi Tengah yaitu kurangnya kesiapan dari pemerintah daerah dan berbagai stakeholder yang terkait dengan kebijakan tersebut, disebabkan karena mereka belum disuplai dengan ketiga resources yang terakhir yaitu financial resources, techno-logical resources, dan psychological resources, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Demikian juaga dikemukakan Walter Williams (lihat Abdul Wahab. 1997) menyatakan bahwa besar kecilnya perbedaan antara apa yang  diharapkan (direncanakan) dengan apa yang  senyatanya dicapai dalam implementasi kebijakan, sedikit banyaknya akan tergantung  pada apa yang disebut  Implementation capacity  dari organisasi atau kelompok organisasi atau  aktor yang dipercaya untuk mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan. Implementation capacity tidak lain adalah  kemampuan suatu organisasi/aktor untuk melaksanakan keputusan kebijakan  (policy dicision) sedemikian rupa sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan dapat dicapai.
Pemerintah daerah diberikan kewenagan untuk membentuk organisasi dan institusi KPH namun tetap mengacu pada arahan dari pemerintah pusat yang kemudian ditetapkan oleh menti kehutanan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 8 PP 3/2008.
 Pada tahun 2009 berdasarkan Pergub Nomor  05/2009, Pemerintah provinsi melalui dinas kehutanan Provinsi membentuk Institusi Pengelola KPH dengan Pembangunan Infrastruktur dan menetapkan Struktur Organisasi KPH Model          di Sulawesi Tengah. Struktur organisasi KPH Model Dampelas tinombo dapat  dilihatdalambaganberikut  :
                                    Rounded Rectangle: KEPALA 
KPH-P
























Gambar  4.  Struktur Organisasi KPH-P Dampelas-Tinombo (Unit V)


5.3       Peran Stakeholder
            Dari hasil wawancara mendalam (Indept Interview) diperoleh 6 (enam) stakeholders yang memiliki peran utama dalam pembangunan KPH Model Dampelas-Tinombo  secara purposive dengan pertimbangan informan tersebut merupakan staf yang membidangi pembanguan KPH Model, Dinas Kehutanan Propinsi, BPKH Sulawesi Tengah, BP2HP, Dinas Kehutanan dan perkebunan Parigi Moutong, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Donggala, Kepala KPH, dengan tiap-tiap peran stakeholder seperti disajikan dalam table 11.
Tabel 11.  Peran Tiap-Tiap Stakeholder dalam pembangunan KPH Model Dampelas-Tinombo
Stakeholder
Rights (Hak)
Responsibility (Tanggung Jawab)
Revenues
(Manfaat)
Dishut Propinsi
-    Pembentukan dan Penguatan Kelembagaan KPH-P Model Dampelas-Tinombo (Unit V)




-    Memfasilitasi Pembentukan KPH
-    Menyusun Action Plan KPH dan Diskusi Publik
-    Rekruitmen SDM Pengelola & Diklat calon Ka. KPH.
-    Mengalokasikan dana pembangunan  KPH.(Sesuai usulan biaya/RAB
-    Memberikan izin pemanfaatan dalam lingkup lintas kabupaten
-    Melakukan Pembinaan SDM pada Pengelola KPH-P Model

-    Terselenggaranya ketertinban dalam pengurusan Hutan dikawasan KPH-P Model
BPKH
-    Inventarisasi dan Pengukuhan  Kawasan Hutan KPH-P Model


-    Penyusunan dan pengesahan rancangan teknis pengukuhan kawasan hutan di wilayah KPH-P model

-       Diseminasi dokumen penetapan kawasan hutan berbatasan KPH-P model kepada stakholder
-       Berkembangnya penyelesaian tata batas luar  kawasan hutan berbatasan KPH-P model.
BP2HP
-          Pemanfaatan Hasil Hutan
-          Industri dan Perdagangan
Hasil Hutan
-       Merancang biaya untuk pendanaan KPH Model yang berasal dari dana APBN
-       Melakukan Sertifikasi dan
Pengawasan
-          Menguatnya kelembagaan KPH-P Model hingga mencapai kemandirian


Dishutbun Donggala
(Keterlibatan dalam pembangunan KPH hanya sebatas objek sosialisas)

           _
-     
Dishutbun Parigi
-    (Keterlibatan dalam pembangunan KPH hanya sebatas objek sosialisasi)
        

             _
-     
Kepala KPH Model
-       Menyelenggarakan pengelolaan hutan
-       Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten bidang kehutanan untuk di implementasikan
-    Industri dan perdagangan hasil Hutan
-    Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Produksi Alam di wilayah KPH-P Unit V


-    Melakukan penataan, perencanaan, pengorganisasian, pemanfaatan, rehabilitasi dan reklamasi serta perlindungan hutan pada Kawasan KPH Model.
-    Penyusunan dan pengesahan rencana kelola dan pemanfaatan SDH di KPH-P Unit V.
-    Memberdayakan masyarakat setempat yang dilakukan melalui hutan desa, hutan kemasyarakatan, atau kemitraan
-    Mengembangkan hutan tanaman rakyat

-    Terselenggaranya pengurusan Hutan secara efisien dan lestari
-    Beroperasinya pengelolaan dan pemanfaatan hutan produksi alam yang efisien dan efektif

            Berdasarkan hasil wawancara mendalam, serta didukung oleh dokukmen-dokumen yang terkait dengan pembangunan KPH Model di Sulawesi Tengah, maka dapat teridentifikasi peran stakeholder yang mencangkup raigh (Hak), Responsibility (tanggung jawab), dan revenuaes (manfaat) dalam pembangunan KPH Model disulawesi Tengah. Dimana didapatkan bahwa Setiap Stakeholder  memiliki Hak, tanggung jawab serta manfaat yang didapatkan sesuai dengan topuksi masing-masing stakeholder.
            Dinas Kehutana Provinsi sulawesi tengah sebagai salah satu stakeholder yang merupakan aktor kunci dalam pembangunan KPH Model di Sulawesi Tengah. Stakeholder ini memiliki Hak dalam pembentukan awal KPH Model disulawesi Tengah sebagimana yang diamanatkan dalam beberapa kebijakan yang terkait dengan pembangunan KPH Model diantaranya terdapat pada pasal 17 ayat 1, 2 dan 3 juga terdapat pada pasal 21undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Dari penjelasan Undang-Unadang No. 41 tersebut maka dinas Kehutana Propinsi Sulawesi Tengah Bertanggung jawab untuk memfasilitasi pembentukan KPH Model di sulawesi Tengah. Tanggung jawab tersebut tentunya juga didasarkan pada aturan tidak hanya diatur dalam UU No.41/1999 melainkan juga pada peraturan pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang perencanaan Kehutanan, tepatnya pada pasal 26 tentang pembentukan wilayah pengelolaan Hutan.
Dinas kehutanan Provinsi sulawesi tengah juga bertanggung jawab dalam hal Memfasilitasi Pembentukan KPH, Menyusun Action Plan KPH dan Diskusi Publik, Rekruitmen SDM Pengelola & Diklat calon Ka. KPH, Mengalokasikan dana pembangunan  KPH (Sesuai usulan biaya/RAB), Memberikan izin pemanfaatan dalam lingkup lintas kabupaten, Melakukan Pembinaan SDM pada Pengelola KPH-P Model, Penyusunan dan pengesahan rancangan teknis pengukuhan kawasan hutan di wilayah KPH-P model. Tanggung jawab yang belum dilaksanakan adalah pemberian izin pemanfaatan dalam lingkup lintas kabupaten, hal ini disebabkan karena tahapan pembbangunan KPH Model saat ini barulah mulai pada tahapan awal Implementasi.
Selanjutnya Hak dan tanggung jawab dinas kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah merupakan kesatuan peran yang akan memberikan manfaat demi terselenggaranya pengelolaan hutan yang lebih tertib. Tentunya peran tersebut akan bermanfaat secara maksimal jika pelaksanaanya berjalan efektif dan efisien.
Badana Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) juga menjadi salah satu stakeholder utama dalam pembentukan KPH Model. Stakeholder ini merupakan UPT Pusat yang ditempatkan diderah untuk mendukung secara teknis dalam pembangunan KPH Model disulawesi Tengah. Sebagaimana yang diatur dalam PP.38 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah Provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Peraturan tersebut diatur tertera pada sub sidag No. 8 tentang pemb ntukan wilayah pengelolaan Hutan.
Selanjutnya hal peraturan tersebut dimaksudkan karena fakta historis permasalahan pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan yang sebelumnya sentralistik ketika dirubah dengan memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sendiri hutanya ternyata berimbas pada kerusakan hutan itu sendiri. Olehnya dibentukah sebuah aturan dalam mendukung pengelolaan suberdaya hutan daerah semakin bermanfaat namun tetap lestari (Komarudin,2008).
Dari penjelasan paragraf sebelumnya sebagaimana dikatakan bahwa BPKH merupakan UPT Pusat yang ditempatkan didaerah dengan kapasitas hubungan koordinasi teknis.  Olehnya stakeholder ini bertanggung jawab dalam  Penyusunan dan pengesahan rancangan teknis serta pengukuhan   kawasan hutan di wilayah KPH-P model.
BP2HP sebagia salah satu stakeholder yang bertanggung jawab Merancang biaya untuk pendanaan KPH Model yang berasal dari dana APBN, serta melakukan sertifikasi dan pengawasan terhadap pengelolaan KPH Model. Selain dari tanggung jawab tersebut stakeholder ini memiliki hak dalam Pemanfaatan Hasil Hutan Industri dan Perdagangan Hasil Hutan. Kedua komponen peran tersebut dapat bermanfaat untuk pedanguatan kelembagaan KPH Model hingga mencapai organisasi KPH yang mandiri.
Kepala KPH Model dampelas-Tinombo merupakan Stakeholder utama yang menjadi objek penelitian, stakeholder ini bertanggung jawab Melakukan penataan, perencanaan, pengorganisasian, pemanfaatan, rehabilitasi, reklamasi dan perlindungan hutan pada Kawasan KPH Model, Serta Penyusunan, pengesahan rencana kelola, pemanfaatan SDH di KPH-P Unit V, Memberdayakan masyarakat setempat yang dilakukan melalui hutan desa, hutan kemasyarakatan, atau kemitraan dan Mengembangkan hutan tanaman rakyat. Stakeholder ini juga memiliki hak dalam Menyelenggarakan pengelolaan hutan, Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten bidang kehutanan untuk di implementasikan, Industri dan perdagangan hasil Hutan Serta Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Produksi Alam di wilayah KPH-P Unit V.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Donggala merupakan salah stakeholder yang memiliki peran utama dalam pembanguna KPH Model disulawesi Tengah.  Hal trersebut dikarenakan Kawasan KPH Model mencangkup wilayah kabupaten donggala sehingga dalam tahapan pembentykan KPH model, peran serta dinas kehutanan dan perklebunan kabupaten donggala sangan besar mempengaruhi stabilitas serta percepatan pembangunan KPH.
Dengan demikian Dinas Kehutanan dan Perkebunan kabupaten Donggala bertanggung jawab dalam pemberian izin pengelolaan pada lingkup kabupaten sebagaimana tercantum dalan matrik Konvergensi kegiatan (Dinas Kehutanan,2008). Namun peran ini belumlah dilaksanakan disebabkan karena tahapan pembangunan KPH saat ini berada pada tahapan awal implementasi dan belumlah sepenuhnya tersosialisasikan secara masiv pada masyarakat maupun stakeholder yang terkait.
Seperti halnya Dinas Kehutanan dan Perkebunan kabupaten Donggala, dinas kehutanan dan perkebunan kabupaten parigi moutong juga demikin. Melalui hasil wawancara mendalam, informan dikatakan bahwa keterlibatan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Parigi Moutong barulah sebagai objek sosialisasi dari pembentukan KPH dan belum terlibat secara penuh, sementara itu dalam buku rencanngan pembanguna KPH yang disusun oleh dinas kehutanan provinsi menargetkan ditahun 2010 sudah pada pemantapan implementasi pengelolaan KPH model disulawesi Tengah.
Berdasarkan dari hal tersebut, dengan demikian proses penerapan kebijakan pembanguna KPH dapat dikatakan belumlah berjalan idal sesuai denga apa yang diharapkan dari filosofis pembentukan KPH. Hal ini dikarenakan pada tahapan sosialisasi kebijakan, karena adanya komunikasi yang kuran efektif sebagaimana dikemukakan Hoogwood dan Gun (lihat Abdul Wahab,1997) menyatakan bahwa harus ada komunikasi dan koordinasi yang sempurna diantara pelbagai unsur atau badan yang terlibat dalam suatu program kebijakan.
Edward III (1980)  dalam Helis setiani (2005) mensinyalir bahwa dalam komunikasi ada beberapa hal yang mempengaruhi efektifitas dari komunikasi dan akan berpengaruh pula terhadap keberhasilan implementasi kebijakan antara lain adalah transmission (akurasi penerimaan panjang dan pendeknya rantai komunikasi) atau penyaluran komunikasi, konsistensi dan rincian tujuan komunikasi.
Selain itu Rhodes (1996) dan Stoker (1998) (lihat AbdulWahab, 1997), melihat bahwa dalam mensosialisasikan suatu kebijakan/program harus ada produk sinergi interaksional dari beragam aktor atau institusi yang terlibat. Pada tahapan pelaksanaan pembanguana KPH Model, peneliti masih didapatkan beberapa stakeholder yang kurang memehami peranya dalam pembangunan KPH Model.
Kebijakan Pembangunan KPH Model  telah disosialisasikan oleh Kementrian kehutanan maupun dinas kehutanan Provinsi kepada pelaku kebijakan dan stakeholder,  ternyata konsep dan tujuan dari kebijakan ini belum dipahami dengan baik oleh para stakeholder, hal ini terlihat dari adanya kesenjangan antara acuan formal dan persepsi pelaku kebijakan pembangunan KPH. Sehingga menyebabkan pelaksanaan kebijakan pembangunan KPH menjadi tidak utuh, Dunsire (lihat Abdul Wahab, 1997) menyebutnya dengan implementation gap.
Salah satu bukti nyata dilapangan adalah tidak dilaksanakannya kebijakan sesuai dengan tahapan pelaksanaan yang tertera dalam pedoman umum pelaksanaan. Tidak dipahaminya konsep dan tujuan kebijakan oleh pelaku atau aktor kebijakan dapat disebabkan karena informasi yang  disampaikan dan diterima sosialisasi baru pada taraf pengenalan dan tidak dilakukan secara berkelanjutan, polemik kebijakan KPH itu sendiri.
            Pembangunan KPH model disulawesi tengah mencangkup dua wilayah kabupaten sehingga  Pemerintah Kabupaten dalam hal ini dinas kehutanan dan perkebunan beranggapan hal tersebut adalah wewenang sepenuhnya dari Dinas Kehutanan provinsi. Sementara dalam acuan formal pembangunan KPH menjelaskan keterlibatan Dinas kehutanan yang berada pada lingkup dua kabupaten tersebut juga sangat penting termasuk dalam hal perizinan pengelolaan lingkup kabupaten (Dinas kehutanan Provinsi Sulawesi Tangah,2008).



5.4    Pola Hubungan Kerja Kelembagaan KPH-P Model Dampelas Tinombo (Unit V)
            Berdasarkan pada hasil wawancara mendalam bersama Kepala KPH Model Dampelas-Tinombo dan juga mengacu pada beberapa kebijakan yang terkait dengan KPH, maka bentuk Pola Hubungan Kerja Kelembagaan KPH-P Model Dampelas Tinombo (Unit V) adalah sebagaimana dalam bagan berikut :
 













Hubungan Struktural, berada dibawah dan bertanggung  jawab
Garis Komando dalam rangka pelaksanaan wewenang pengelolaan
Pelaporan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas pengelolaan
Dukungan teknis

Gambar  5. Bagan Koordinasi Pembangunan KPH Model di Sulawesi Tengah
              BPKH bersama BP2HP merupakan UPT Kementrian Kehutanan di provinsi sulawesi tengah yang memiliki hubungan struktural berada dibawah dan bertanggung jawab terhadap kementerian kehutanan. Keberadaan UPT tersebut didaerah dalam hal pembangunan KPH di Sulawesi Tengah berperan sebagai pemberi dukungan teknis kepada KPH sesuai kewenagan.
Kepala Dinas Provinsi selaku koordinator, menerima pertanggungjawaban dari KPH Model untuk disampaikan kepada Menteri. Dinas kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah juga berada pada posisi mengkoordinir dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala/parigi Moutong, serta KPH-P Model Dampelas Tinombo. Sedangngkan KPH-P Model berkewajiban untuk mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas pengelolaan kepada  Dinas Kehutanan dan perkebunan Kabupaten, Provinsi, UPT, serta berujung kepada Kementerian Kehutanan, melalui mekanisme pelaporan seperti dalam Gambar 5.
            Pola Hubungan yang dimaksudkan dalam Gambar 5, menjelaskan garis komando yang menghubungkan Kementrian Kehutanan dengan Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah dan KPH Model merupakan Garis komando terkait dengan penjabaran kebijakan Nasional terkait dengan pembangunan KPH Model. Pembangunan KPH Model yang di atur dalam Permenhut No.P.6/Menhut-II/2009 merupakan runutan akhir dari penjabaran UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, PP No.44 tahun 2004,  PP No. 6 tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008, PP No.38 tahun 2008.
            Dalam PP No. 6 tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 pasal 8 ayat 3 menjelaskan pertimbangan teknis dan dan usulan penetapan organisasi KPH dilakukan berdasarkan  standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Mentri. Peraturan pemerintah tersebut mengamanatkan kepada mentri untuk membuat standar, prosedur dan kriteri pembentukan KPH, yang kemudian menjadi acuan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam membentuk KPH. Lebih jelasnya tentang penjelasan garis kondo dalam bagan diatas terdapat dalam pasal 123 ayat 1 poin (a), yakni Mentri, berwenag membina dan mengendalikan kebijakan bidang kehutanan yang dilaksanakan Gubernur, Bupati/walikota, dan kepala KPH.
Keberadaan UPT Kehutanan Pusat seperti BP2HP dan BPKH Sulteng dalam memberikan dukungan teknis sebagamana dalan Gambar 5, didasarkan  pada hasil wawancara mendalam dengan Kepala KPH, BP2HP dan BPKH, dimana BPKH berperan dalam menyusunan dan pengesahan rancangan teknis pengukuhan kawasan hutan di wilayah KPH-P model. Sedangkan BP2HP berperan dalam Merancang biaya untuk pendanaan KPH Model yang berasal dari dana APBN.
Keberadaan KPH sebagaimana dalam Gambar 5, merupakan cerminan integrasi (kolaborasi/sinergi) dari Pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Hal tersebut didasarkan pada PP No. 6 tahun 2007 jo PP No 3 tahun 2008 pasal 9 ayat 1 poin b, terkait tugas dan fungsi Organisasi KPH, yakni menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi, dan kabupaten kota bidang kehutanan untuk diimlementasikan.   . 





VI.       KESIMPULAN DAN SARAN
6.1       KESIMPULAN
            Berdasar pada hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa hal diantaranya :
1.      Kebijakan yang terkait dengan pembangunan KPH Model dampelas Tinombo diantaranya adalah Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang kehutanan, Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004 tentang perencanaan Kehutanan, Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah No 3 tahun 2008 tentang tentang Tata Hutan dan Penyusnan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, Peraturan Pemerintah No. 38/2007 Tentang pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah daerah Provinsi, Pemerintah daerah Kabupaten/Kota, dan Permenhut No.P.6/Menhut-II/2009 tentang pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
2.      Pembentukan KPH Model di Propinsi Sulawesi Tengah telah berlangsung sejak tahun 2008 melalui proses pencadangan oleh pemrintah Propinsi bersama dengan pemerintah kabupaten Parigi Moutong serta pemerintah Kabupaten donggala, Kemudian ditetapkan oleh Mentri Kehutanan Pada Tahun 2009.
3.      Pembangunan KPH Model dampelas Tinombo melibatkan beberapa Stakeholder yang memiliki peran utama dalam tahap awal pembentukanya. diantaranya adalah Dinas Kehutana Provinsi Sulawesi Tengah, BPKH, BP2HP, dinas Kehutana dan Perkebunan Kabupaten donggala Serta dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Parigi Moutong, dan Kepala KPH itu sendiri.
4.      Proses pembangunan KPH Model di Propinsi Sulawesi Tengah belumlah berjalan sebagaimana yang direncanakan dalam acuan formal rancangan pembangunan KPH Model Dampelas-Tinombo. Hal ini disebabkan oleh polemik prodak kebijakan itu sendiri yang belum secara menyeluruh memberikan penjelasan secara utuh akan pembentukan KPH, serta disebabkan oleh kurangnya pemahaman para pelaku kebijakan atau stakeholder akan isi dari kebijakan itu sendiri.
6.2       SARAN
            Wacana pembentukan KPH sudah berlangsung sejak lama, yaitu pada tahun 1999. sejak ditetapkanya UU No.41/1999 tentang kehutanan , dengan berbagai produk kebijakan yang menyertainya, sampai saat ini pembangunan KPH termasuk di Sulawesi Tengah masih mengalami polemik dalam pembangunanya. Olehnya diharapkan kepada pihak pemerintah Pusat, provinsi serta pihak akademisi sepatutnya dapat terlibat lebih jauh dalam mengawal pembangunan KPH Model.
            Dalam melakukan penelitian ini, berdasarkan instrument penelitian yang dipakai, memungkinkan faliditas data yang diperoleh dari para responden masih disangsikan, disebabkan adanya hal yang mungkin bersifat rahasia yang tidak dikemukakan responden. Olehnya untuk penelitian selanjutnya  perlu didorong dengan dukungan berbagai stakeholder yang terkait dengan pembangunan KPH, Sehingga hasil dari penelitian yang dilakukan dapat mendorong pembangunan KPH yang efektif dan efisien demi tercapainya pengelolaan Hutan secara lestari.
           
                       










0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:

Posting Komentar

sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???