Selasa, 06 November 2012

Aneka praktek agroforest di Indonesia

Indonesia memiliki dua ratus juta penduduk dari berbagai kelompok etnis tersebar di ribuan pulau sehingga muncul aneka ragam pilihan sistem usaha tani. Selain itu, hubungan penduduk dengan dunia luar, diwakili oleh para pedagang Cina, Arab dan Eropa, telah berkembang sejak lama (Dunn, 1975) sehingga permintaan pasarpun juga beraneka ragam. Semua unsur ini menjadi pendorong proses pembangunan bermacam-macam agroforest.
Sekarang ini sistem agroforest sepertinya hanya diterapkan oleh petani-petani kecil. Usaha-usaha agroforest kebanyakan bisa ditemukan di sekitar pemukiman penduduk.  Sekeliling rumah merupakan tempat yang cocok untuk melindungi dan membudidayakan tumbuhan hutan, karena memudahkan pengawasannya.  Kebun-kebun pekarangan (home-garden) memadukan berbagai sumber daya tanaman asal hutan dengan jenis-jenis tanaman eksotik yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, seperti buah-buahan, sayuran dan tanaman untuk penyedia bumbu dapur (Bhs. Jawa: empon-empon), tanaman obat, serta jenis tanaman yang diyakini memiliki kegunaan gaib.  Contohnya, menurut kepercayaan di Jawa ranting pohon kelor (Moringa pterygosperma Gaerttn.) dapat digunakan untuk menghilangkan kekebalan seorang yang ber’ilmu’.  Ranting bambu kuning dapat digunakan untuk mengusir ular dan sebagainya.
Seperti telah disebutkan di atas, kebun pekarangan di Jawa memadukan tanaman bermanfaat asal hutan dengan tanaman khas pertanian. Semakin banyak campur tangan manusia membuat kebun itu menjadi semakin artifisial (sistem buatan yang tidak alami). Kekhasan vegetasi hutan seringkali masih bisa ditemukan, misalnya dapat dijumpai berbagai jenis tumbuhan bawah seperti berbagai macam pakis (fern), atau epifit (misalnya anggrek liar). Kekayaan jenisnya bervariasi, beberapa pekarangan yang tidak terlalu banyak campur tangan pemiliknya memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi, yang dapat mencapai lebih dari 50 jenis tanaman pada lahan seluas 400 m2 (Karyono,1979; Michon, 1985).  Bila diperhatikan dari struktur kanopi tajuknya, kebun- kebun itu memiliki lapisan/strata tajuk bertingkat (multi-strata) mirip dengan yang dijumpai di hutan. Kemiripan kanopi hutan dengan agroforest sulit dibedakan melalui teknik foto udara.
Tingkat lapisan tajuk vegetasi agroforest dapat dibedakan menjadi 3 sampai 5 tingkat, mulai dari lapisan semak (sayuran, cabai, umbi-umbian), perdu(pisang, pepaya, tanaman hias) hingga lapisan pohon tinggi (sampai lebih 35 m,misalnya damar, durian, duku). Proses reproduksi sistem yang menyerupai hutan ini lebih banyak mengikuti kaidah alam daripada teknik-teknik budidaya perkebunan. Sebagai contoh, kasus terbentuknya damar agroforest di Krui.
prosesagro
 Gambar 7.  Tahapan terbentuknya  Kebun Pekarangan di Jawa (De Foresta et al., 2000)
 Mengapa agroforest perlu mendapat perhatian?
Kebun-kebun agroforest asli Indonesia memperlihatkan ciri-ciri yang pantas diberi perhatian dalam rangka pembangunan pertanian dan kehutanan, khususnya untuk daerah-daerah rawan secara ekologis (kurang subur, terlalu curam, terlalu berbatu). Lahan  tersebut tidak cocok untuk pertanian dan seharusnya tertutup rapat seperti hutan. Di daerah-daerah tersebut hanya tanaman tahunan saja yang dapat berproduksi secara berkelanjutan, sedangkan untuk tanaman pangan dan tanaman musiman lain hanya dimungkinkan dengan investasi yang sangat besar (penyediaan pupuk dan pembangunan fisik pengendali erosi). Manfaat penerapan sistem agroforest ditinjau dari beberapa pihak atau sudut pandang: (1) pertanian, (2) petani, (3) peladang, (4) kehutanan.
1. Sudut pandang pertanian
Agroforest merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepat- guna, sesuai dengan keadaan petani. Pengembangan pertanian komersial khususnya tanaman semusim, menuntut terjadinya perubahan sistem produksi secara total menjadi sistem monokultur dengan masukan energi, modal, dan tenaga kerja dari luar yang relatif besar yang tidak sesuai untuk kondisi petani. Selain itu, percobaan-percobaan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi standar yang berbeda dari keadaan yang lazim dihadapi petani.  Tidak mengherankan bila banyak hasil percobaan mengalami kegagalan pada tingkat petani.
Agroforest mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat. Peran utama agroforest bukan sebagai penghasil bahan pangan, melainkan sebagai sumber penghasil pemasukan uang dan modal. Misalnya: kebun
damar, kebun karet dan kebun kayu manis menjadi andalan pemasukan modal di Sumatera. Bahkan, agroforest seringkali menjadi satu-satunya sumber uang tunai bagi keluarga petani. Agroforest mampu menyumbang 50% hingga 80% pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui produksi langsung maupun tidak langsung yang berhubungan dengan pengumpulan, pemrosesan dan pemasaran hasilnya.
Di lain pihak sistem-sistem produksi asli setempat (salah satunya agroforest) selalu dianggap sebagai sistem yang hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri saja (subsisten). Oleh karena itu, bentuk dukungan terhadap pertanian komersial petani kecil biasanya diarahkan kepada upaya penataan kembali sistem produksi secara keseluruhan. Pendekatan terpadu untuk mengembangkan sistem-sistem yang sudah ada masih sangat kurang, karena umumnya dianggap hanya sebagai "kebun dapur" yang tidak lebih dari sekedar pelengkap sistem pertanian lainnya, di mana produksinya hanya dikhususkan untuk konsumsi sendiri dengan menghasilkan hasil-hasil sampingan seperti kayu bakar. Oleh karena itu, sistem ini kurang mendapat perhatian.
2. Sudut pandang petani
Keunikan konsep pertanian komersial agroforest adalah karena sistem ini bertumpu pada keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu spesies saja. Usaha memperoleh produksi komersial ternyata sejalan dengan produksi dan fungsi lain yang lebih luas. Hal ini menimbulkan beberapa konsekuensi menarik bagi petani.
Aneka hasil kebun hutan sebagai "bank" yang sebenarnya. Pendapatan dari agroforest umumnya dapat menutupi kebutuhan sehari-hari yang diperoleh dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara teratur misalnya lateks karet, damar, kopi, kayu manis dan lain-lain.  Selain itu, agroforest juga dapat membantu menutup pengeluaran tahunan dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti buah-buahan, cengkeh, pala, dan lain-lain. Komoditas- komoditas lain seperti kayu bahan bangunan juga dapat menjadi sumber uang yang cukup besar meskipun tidak tetap, dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak. Di beberapa daerah di Indonesia menabung uang tunai masih belum merupakan kebiasaan, maka keragaman bentuk sumber uang sangatlah penting. Keluwesan agroforest juga penting di daerah-daerah di mana kredit sulit didapatkan karena mahal atau tidak ada sama sekali. Semua ini adalah kenyataan umum yang dijumpai di pedesaan di daerah tropis.
Struktur yang tetap dengan diversifikasi tanaman komersial, menjamin keamanan dan kelenturan pendapatan petani, walaupun sistem ini tidak memungkinkan adanya akumulasi modal secara cepat dalam bentuk aset-aset yang dapat segera diuangkan.  Keragaman tanaman melindungi petani dari ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau risiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan.  Jika terjadi kemerosotan harga satu komoditas, spesies ini dapat dengan mudah ditelantarkan saja, hingga suatu saat pemanfaatannya kembali menguntungkan.  Proses tersebut tidak menimbulkan gangguan ekologi terhadap sistem kebun.  Petak kebun tetap utuh dan produktif dan spesies yang ditelantarkan akan tetap hidup dalam struktur kebun, dan selalu siap untuk kembali dipanen sewaktu-waktu. Sementara itu spesies-spesies baru dapat diperkenalkan tanpa merombak sistem produksi yang ada.
Ciri keluwesan yang lain adalah perubahan nilai ekonomi yang mungkin dialami beberapa spesies. Spesies yang sudah puluhan tahun berada di dalam kebun dapat tiba-tiba mendapat nilai komersil baru akibat evolusi pasar, atau pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan baru.  Hal seperti ini telah terjadi pada buah durian, duku, dan cengkeh serta terakhir kayu ketika kayu dari hutan alam menjadi langka.
Melalui diversifikasi hasil-hasil sekunder, agroforest menyediakan kebutuhan sehari-hari petani. Agroforest juga berperan sebagai "kebun dapur" yang memasok bahan makanan pelengkap (sayuran, buah, rempah, bumbu). Melalui keanekaragaman tumbuhan, agroforest dapat menggantikan peran
hutan alam dalam menyediakan hasil-hasil yang akhir-akhir ini semakin langka dan mahal seperti kayu bahan bangunan, rotan, bahan atap, tanaman obat, dan binatang buruan.
3. Sudut pandang peladang
Kebutuhan tenaga kerja rendah
Agroforest merupakan model peralihan dari perladangan berpindah ke pertanian menetap yang berhasil, murah, menguntungkan dan lestari. Meskipun menurut standar konvensional produktivitasnya dianggap rendah, bila ditinjau dari sisi alokasi tenaga kerja yang dibutuhkan , agroforest lebih menguntungkan dibandingkan sistem pertanian monokultur. Penilaian bahwa produktivitas agroforest rendah, disebabkan kesalahpahaman terhadap sistem yang dikembangkan petani. Hal ini karena umumnya hanya tanaman utama yang diperhitungkan sementara hasil-hasil dan fungsi ekonomi lain diabaikan. Pembuatan dan pengelolaan agroforest hanya membutuhkan nilai investasi dan alokasi tenaga kerja yang kecil.  Hal ini sangat penting terutama untuk daerah- daerah yang ketersediaan tenaga kerja dan uang tunai jauh lebih terbatas daripada ketersediaan lahan, seperti yang umum terjadi di wilayah-wilayah perladangan berpindah di daerah beriklim tropis basah.
Tidak memerlukan teknik canggih
Selain manfaat ekonomi, perlu juga dijelaskan beberapa ciri penting lain yang membantu pemahaman terhadap hubungan positif antara peladang berpindah dan agroforest. Pembentukan agroforest berhubungan langsung dengan kegiatan perladangan berpindah.  Bentuk ladang berpindah mengalami perkembangan dengan adanya penanaman pohon yang oleh penduduk setempat dikenal bernilai ekonomi tinggi. Tindakan yang sangat sederhana ini dapat dilakukan oleh peladang berpindah di semua daerah tropis basah. Agroforest ini dapat dikelola tanpa teknologi yang canggih, tetapi bertumpu sepenuhnya pada pengetahuan tradisional peladang mengenai lingkungan hutan mereka.   Hasilnya, terdapat perbedaan yang sangat nyata antara sistem agroforest yang lebih menetap dengan sistem peladangan berpindah yang biasanya melibatkan pemberaan dan membuka lahan pertanian baru di tempat lain. Ladang-ladang yang diberakan untuk sementara waktu, selanjutnya ditanami kembali dengan pepohonan untuk diwariskan pada generasi berikutnya. Kedudukan komersil tanaman pohon dan nilai ekonomisnya sebagai modal dan harta warisan dapat mencegah terjadinya pembukaan ladang-ladang baru, dengan demikian lahan tersebut menjadi terbebas dari ancaman perladangan berpindah lainnya.
4. Sudut pandang kehutanan
Mekanisme sederhana untuk mengelola keanekaragaman
Seperti halnya pada semua lahan pertanian, sebagian terbesar agroforest tercipta melalui tindakan penebangan dan pembakaran hutan. Perbedaan agroforest dengan budidaya pertanian pada umumnya terletak pada tindakan yang dilakukan pada tumbuhan perintis yang berasal dari hutan.  Pada budidaya pertanian, keberadaan tumbuhan perintis alami dianggap sebagai gulma yang mengancam produksi tanaman pokok. Pada sistem agroforest, petani tidak melakukan pembabatan hutan kembali, karena mereka menggunakan ladang sebagai lingkungan pendukung proses pertumbuhan pepohonan. Proses pembentukan agroforest seperti ini masih dapat dijumpai di Sumatera, antara lain di Pesisir Krui (Propinsi Lampung) untuk agroforest damar, di Jambi untuk agroforest karet. Oleh karena pada sistem agroforest tidak melibatkan penyiangan intensif, maka kembalinya spesies-spesies perintis dapat mempertahankan sebagian spesies-spesies asli hutan.
Pengembangan hasil hutan non-kayu
Sejak tahun 1960-an bentuk pengelolaan hutan yang dikembangkan terpaku pada  produksi kayu gelondongan. Kayu gelondongan merupakan unsur dominan hutan yang relatif sulit dan memerlukan waktu lama untuk diperbaharui. Eksploitasinya yang berbasis tegakan bukan individu pohon, mengakibatkan degradasi drastis seluruh ekosistem hutan. Hal ini memunculkan suatu usulan agar pihak-pihak kehutanan dalam arti luas lebih mengalihkan perhatiannya pada hasil hutan non-kayu (disebut juga hasil hutan minor) misalnya damar, karet remah dan lateks, buah-buahan, biji-bijian, kayu- kayu harum, zat pewarna, pestisida alam, dan bahan kimia untuk industri obat. Ilustrasi yang disajikan pada Gambar 8, menunjukkan adanya pemanenan hasil hutan non-kayu berupa getah karet yang siap untuk dipasarkan, selain produksi kayu yang cukup menarik bagi petani di daerah Jambi. Pemanenan hasil hutan non-kayu merupakan pengembangan sumber daya yang dapat mendukung konservasi hutan karena mengakibatkan kerusakan yang lebih kecil dibandingkan dengan pemanenan kayu.
nonhutan
Gambar 8.  Karet siap untuk dipasarkan (de Foresta et al., 2000).
 Agroforest di Indonesia, yang bertumpu pada hasil hutan non-kayu, merupakan salah satu alternatif menarik terhadap domestikasi monokultur yang lazim dikerjakan.  Pengelolaan agroforest tidak ekslusif pada satu sumber daya yang terpilih saja, tetapi memungkinkan kehadiran sumber daya lain yang mungkin tidak bermanfaat langsung bagi masyarakat.  Selain itu membangun agroforest merupakan strategi masyarakat sekitar hutan untuk memiliki kembali sumber daya hutan yang pernah hilang atau terlarang bagi mereka. Agroforest memungkinkan adanya pelestarian wewenang dan tanggung jawab masyarakat setempat atas seluruh sumber daya hutan. Hal ini merupakan sifat utama agroforest yang  bisa  menjadi peluang utama bagi pengembangan sistem agroforest oleh badan-badan pembangunan resmi terutama kalangan kehutanan yang selama ini masih tetap khawatir akan kehilangan kewenangan menguasai sumber daya yang selama ini dianggap sebagai domain ekslusif mereka.
Model alternatif produksi kayu
Agroforest berbasis pepohonan khusus penghasil kayu di Indonesia masih belum ada.  Namun karena berciri pembangunan kembali hutan alam, agroforest merupakan sumber pasokan kayu berharga yang sangat potensial yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk setempat.  Sejauh ini kayu-kayu yang dihasilkan dalam agroforest masih diabaikan dalam perdagangan nasional (de Foresta, 1990). Pohon yang ditanam di agroforest (buah-buahan, karet dll) sering pula memasok kayu bermutu tinggi dalam jumlah besar, sehingga ada pasokan kayu gergajian dan kayu kupas yang selalu siap digunakan (Martawijaya, 1986 dan 1989).  Di daerah Krui (Lampung), pohon damar yang termasuk golongan meranti sangat mendominasi kebun damar, dengan kepadatan yang beragam.  Dalam setiap hektar agroforest terdapat antara 150 sampai 250 pohon yang dapat dimanfaatkan (Torquebiau 1984; Michon, 1985). Kayu-kayu itu biasanya dianggap sebagai produk sampingan yang tidak mempunyai nilai ekonomi, bukan karena teknologi yang rendah, tetapi karena belum dikenali pasar.
Pengguna kayu mengelompokkan kayu berdasarkan kelas keawetan dan kekuatan.  Klasifikasi asli tersebut banyak mengalami revisi, karena semakin langkanya hutan yang mengandung jenis pohon yang menguntungkan.
Karena kelas I sudah dieksploitasi berlebihan dan menjadi langka, maka kelas II menjadi kelas I dan seterusnya (Kostermans, 1984).  Pohon meranti misalnya, belakangan ini merupakan jenis kayu kelas utama di Asia Tenggara, padahal pada tahun 1930-an hampir tidak memiliki nilai komersil.  Contoh yang lebih mutakhir adalah kayu karet, hingga tahun 1970-an masih dianggap tidak berharga, tetapi dewasa ini menduduki tempat penting dalam pasar kayu Asia. Sejalan dengan perkembangan teknologi transformasi dan pemanfaatan kayu, ciri-ciri kayu bahan baku semakin tidak penting (Kostermans, 1984).
Untuk memenuhi permintaan besar di tingkat regional, beberapa tahun belakangan ini berkembang budidaya pohon kayu, terutama surian, bayur, dan musang dalam agroforest di sekeliling danau Maninjau, Sumatera Barat (Michon, 1985; Michon, 1986).  Di daerah Krui, Lampung, terjadi pemaduan sungkai di kebun damar. Jenis pohon perintis ini yang sebelumnya tidak bernilai, baru sejak 1990-an mulai ditanam di kebun. Dengan meningkatnya permintaan kayu sungkai untuk bangunan pada tingkat nasional, pohon sungkai kini ditanam dan dirawat dengan baik oleh petani (de Foresta, 1990).
Kajian-kajian kuantitatif lebih lanjut tentu saja masih dibutuhkan untuk menentukan potensi pepohonan dan pengelolaan yang optimal dalam agroforest, dengan tetap memperhitungkan hasil-hasil lain. Dampak  sampingan penjualan kayu perlu juga dikaji dari segi sosial, ekonomi dan ekologi.  Dengan memenuhi persyaratan ketersediaan pasokan yang besar dan lestari, agroforest merupakan salah satu sumber daya kayu tropis di masa depan.  Dengan mudah sumber daya ini dapat diperkaya dengan jenis-jenis pohon bernilai tinggi, sebab kantung-kantung ekologi agroforest yang beragam merupakan lingkungan ideal bagi pohon berharga yang membutuhkan kondisi yang mirip dengan hutan alam.  Selain itu tidak seperti dugaan umum, sasaran utama agroforest di Indonesia bukan cuma untuk pemenuhan kebutuhan sendiri tetapi untuk menghasilkan uang. Bagi petani agroforest, menanam kayu dan memelihara ternak adalah semacam life insurance yang siap di’likuidasi’ sewaktu-waktu  bila diperlukan. Dengan orientasi pasar, agroforest akan mampu dengan cepat memadukan pola budidaya baru, asalkan hasilnya menguntungkan pemiliknya.
5. Mungkinkah agroforest sebagai penghasil kayu dikembangkan?
Pengembangan agroforestri komplek sebagai sumber kayu tropis bernilai tinggi tampaknya tidak akan memenuhi hambatan yang berarti, jika dilakukan reorientasi pasar yang memberikan peluang bagi kayu asal agroforest untuk memasuki pasar nasional.  Keputusan reorientasi terkait erat dengan kondisi nyata pemanfaatan hutan alam di tiap negara tropis, dan karenanya tergantung pada tujuan/kemauan politik. Perwujudan kemauan politik semacam ini diharapkan terjadi secepatnya, karena sangat dibutuhkan dalam rangka menghadapi (a) produksi kayu tropis (kayu pertukangan dan kayu bulat) pada masa transisi dari sistem penebangan hutan alam menuju sistem budidaya menetap untuk wilayah pedesaan, (b) pelestarian alam yang akan muncul akibat masuknya kayu hasil agroforest ke pasar.
Menyertai usaha pencegahan perusakan hutan dalam jangka panjang, integrasi pengelolaan pepohonan penghasil kayu ke dalam agroforest akan mengurangi tekanan terhadap hilangnya/perusakan hutan alam yang masih tersisa.  Selain meringankan kesulitan dalam mendapatkan kayu bangunan akibat penurunan sumber kayu dari hutan alam, perluasan pangsa pasar ke jenis kayu asal agroforest tersebut akan memacu terjadinya peningkatan pembangunan masyarakat pedesaan. Peningkatan nilai ekonomi agroforest dan adanya integrasi pengelolaan kayu komersil diharapkan dapat merangsang perluasan areal agroforest, yang akan mendorong pelestarian lahan dan keanekaragaman hayati di luar hutan alam.
6. Struktur agroforest dan pelestarian sumber daya hutan: konservasi in-situ dan eks-situ
Agroforest memainkan peran penting dalam pelestarian sumber daya hutan baik nabati maupun hewani karena struktur dan sifatnya yang khas. Agroforest menciptakan kembali arsitektur khas hutan yang mengandung habitat mikro, dan di dalam habitat mikro ini sejumlah tanaman hutan alam mampu bertahan hidup dan berkembang biak. Kekayaan flora semakin besar, jika di dekat kebun terdapat hutan alam yang berperan sebagai sumber (bibit) tanaman. Bahkan ketika hutan alam sudah hampir lenyap sekalipun, warisan hutan masih mampu terus berkembang dalam kelompok besar: misalnya kebun campuran di Maninjau melindungi berbagai tanaman khas hutan lama di dataran rendah, padahal hutan lindung yang terletak di dataran lebih tinggi tidak mampu menyelamatkan tanaman-tanaman tersebut.
Di pihak lain, agroforest merupakan struktur pertanian yang dibentuk dan dirawat.  Tanaman bermanfaat yang umum dijumpai di hutan alam menghadapi ancaman langsung karena daya tarik manfaatnya.  Dewasa ini sumber daya hutan dikuras tanpa kendali. Hal ini tidak terjadi dengan agroforest.  Bagi petani, agroforest merupakan kebun bukan hutan. Agroforest merupakan warisan sekaligus modal produksi. Sumber dayanya, baik yang tidak maupun yang sengaja ditanam, dimanfaatkan dengan selalu mengingat kelangsungan dan kelestarian kebun.  Pohon di hutan dianggap tidak ada yang memiliki.  Sebaliknya, pohon di kebun ada pemiliknya, sehingga pohon tersebut mendapat perlindungan yang lebih efektif daripada yang terdapat di hutan negara. Sumber daya (komponen pohon) hutan di dalam agroforest dengan demikian turut berperan dalam mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam. Secara tidak langsung agroforest turut melindungi hutan alam.
Aneka kebun campuran di pedesaan di Jawa mempunyai peranan penting bagi pelestarian kultivar pohon (tradisional) buah-buahan dan tanaman pangan. Karena kendala ekonomi dan keterbatasan ketersediaan lahan, maka kebun tersebut tidak dapat berfungsi sebagai tempat berlindung jenis tanaman yang tidak bernilai ekonomi bagi petani. Di Sumatera dan Kalimantan, agroforest masih mampu menawarkan pemecahan masalah pelestarian tanaman hutan alam dan sekaligus dapat diterima pula dari sudut ekonomi (Michon dan de Foresta (1995). Adanya perubahan sosial ekonomi dapat mempengaruhi sifat dan susunan kebun, sehingga dikhawatirkan banyak spesies yang terancam kepunahan. Pada gilirannya sumber daya tersebut akan punah dan usaha penyelamatannya belum terbayangkan. Apakah seluruh sumber daya genetik yang ada dalam agroforest dapat disimpan dalam lahan-lahan khusus atau bank benih?
7. Upaya-upaya keberhasilan perlindungan alam
Untuk meningkatkan keberhasilan perlindungan terhadap sumber daya alam, maka petani harus dilibatkan pada setiap usaha pelestarian alam, misalnya dengan memberikan pengakuan terhadap agroforest yang sudah ada dan melaksanakan budidaya agroforest di pinggiran  kawasan taman-taman nasional. Upaya melestarikan alam harus sekaligus dapat memenuhi kebutuhan penduduk setempat. Gagasan ini bukan khayalan, karena secara tradisional telah dirintis oleh petani agroforest. Pada akhirnya agroforest di daerah tropis merupakan lahan berharga bagi eksplorasi genetik dan etnobotani. Pengetahuan petani pengelola agroforest seyogyanya tidak lagi diremehkan oleh para pengelola hutan.
Kelemahan dan Tantangan Agroforest
1. Kelemahan
Kesulitan visual
Keberagaman bentuk, kemiripan dengan vegetasi hutan alam, dan kesulitan membedakannya dalam penginderaan jauh (remote sensing) menjadikan bentang lahan agroforest sulit dikenali. Kebanyakan agroforest dalam peta-peta resmi diklasifikasikan sebagai hutan sekunder, hutan rusak, atau belukar, oleh karena itu biasanya disatukan ke dalam kelompok lahan yang menjadi target rehabilitasi lahan dan hutan.
Dalam kenyataannya di lapangan, seringkali agroforest sukar dibedakan dari “hutan rakyat”, walaupun intensitas pemeliharaan yang dilakukan pada agroforest nampaknya lebih nyata daripada pemeliharaan hutan  rakyat.
Kesulitan mengukur produktivitas
Ahli ekonomi pertanian terbiasa dengan perhatian hanya kepada jenis tanaman dan pola penanaman yang teratur rapi. Biasanya mereka enggan memberi perhatian terhadap nilai pepohonan dan tanaman non-komersial (apalagi nilai yang sifatnya sulit terukur/intangible, seperti konservasi dan jasa lingkungan lainnya). Mereka juga biasanya tidak memiliki latar belakang yang cukup untuk mengenali manfaat ekonomi spesies pepohonan dan herbal/semak.
Rimbawan terbiasa dengan memperlakukan pohon dalam satuan tegakan sedangkan dalam agroforestri diperlukan penanganan pohon secara individual. Keahlian memperlakukan pohon secara indivual adalah kelebihan seorang agroforester yang tidak dimiliki oleh rimbawan.  Sebagai contoh keahlian menebang sebuah pohon di antara pohon-pohon lainnya tanpa banyak merusak tetangganya adalah salah satu ciri dari sistem silvikultur agroforestri yang berbeda dengan sistem silvikultur kehutanan tradisional.
Kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan pohon pada lahan pertanian Adanya penyisipan pohon di antara tanaman semusim, akan menimbulkan masalah yang sering merugikan petani karena kurangnya pengetahuan petani akan adanya interaksi antar tanaman (lihat Bahan Ajaran 4 oleh Suprayogo dkk). Tidak sedikit petani yang masih beranggapan, bahwa menanam pohon pada lahan usaha mereka akan mengurangi produktivitas panen pertaniannya. Kondisi ini diperparah dengan kurangnya pemahaman para penyuluh lapangan pertanian akan fungsi pohon dalam agroforestri, baik yang berkaitan dengan total dan keberlanjutan produksi lahan.
2. Ancaman Keberlanjutan (dikutip dari de Foresta et al., 2000)
Kesulitan merubah pandangan ahli agronomi dan kehutanan
Besarnya jenis dan ketidakteraturan tanaman dalam agroforest membuatnya cenderung diabaikan. Kebanyakan ahli pertanian dan kehutanan yang sudah sangat terbiasa dengan keteraturan sistem monokultur dan agroforestri sederhana menganggap ketidakteraturan dan keberagaman tanaman ini sebagai tanda kemalasan petani. Kebanyakan ahli agronomi dan kehutanan yang akrab dengan pola pertanian sederhana dan keaslian hutan alam masih sulit untuk mengakui bahwa agroforest adalah sistem usaha tani yang produktif.
Salah satu kesulitan bagi seorang rimbawan dalam mengelola sistem agroforest di lahan hutan adalah lebih rumitnya metode yang dipakai dalam penaksiran hasil daripada pekerjaan rutinnya yang relatif lebih sederhana. Di samping itu, rimbawan tidak terbiasa untuk bekerja /berinteraksi langsung dengan masyarakat dalam semangat kemitraan, partisipatif, dan paradigma yang berbeda.
Agroforest adalah sistem kuno (tidak modern)
Banyak kalangan memandang agroforest sebagai sesuatu yang identik dengan pertanian primitif yang terbelakang, sama sekali tidak patut dibanggakan. Padahal, agroforest merupakan wujud konsep petani, proses adaptasi dan inovasi yang terus menerus yang berkaitan dengan perubahan ekologi, keadaan sosial ekonomi, dan perkembangan pasar. Sistem agroforest yang ada saat ini merupakan karya modern dari sejarah panjang adaptasi dan inovasi, uji coba berulang-ulang, pemaduan spesies baru dan strategi agroforestri baru.
Orang sering membenturkan antara teori “ilmiah” modern dengan pengetahuan tradisional yang sudah teruji secara lokal yang dianggap kuno. Bekerja dalam agroforestri orang akan mendapat kesempatan yang tanpa batas untuk melakukan pendalaman ulang (refining) teori umumnya, yang pada hakekatnya merupakan hasil generalisasi ilmiah dengan pengetahuan tradisional yang dijumpainya di lapangan. Bila sampai pada kesimpulan, mereka masih membenturkan kedua pengetahuan itu berarti mereka sendiri belum arif dan sebagai ilmuwan boleh dikatakan “masih mentah”.
Kepadatan penduduk
Pengembangan agroforest membutuhkan ketersediaan luasan lahan, karenanya agroforest sulit berkembang di daerah-daerah yang sangat padat penduduknya. Ada kecenderungan bahwa peningkatan penduduk menyebabkan konversi lahan agroforest ke bentuk penggunaan lain yang lebih menguntungkan dalam jangka pendek.
Penguasaan lahan
Luas agroforest di Indonesia mencapai jutaan hektar, tetapi tidak secara resmi termasuk ke dalam salah satu kategori penggunaan lahan.  Hampir semua petani agroforest tidak memiliki bukti kepemilikan yang resmi atas lahan mereka. Banyak areal agroforest yang dinyatakan berada di dalam kawasan hutan negara, atau dialokasikan kepada perusahaan perkebunan besar dan proyek pembangunan besar lainnya. Ketidakpastian kepemilikan jangka ini berakibat keengganan petani untuk melanjutkan sistem pengelolaan yang sekarang sudah mereka bangun.
Ketiadaan data akurat
Kecuali untuk agroforest karet dan sebagian kecil lainnya, belum ada upaya serius untuk mendapatkan data yang akurat mengenai keberadaan/luasan agroforest yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Indonesia.  Akibatnya, belum ada upaya untuk memberikan dukungan pembangunan terhadap agroforest tersebut, seperti yang diberikan terhadap sawah, kebun monokultur (cengkeh, kelapa, kopi, dan lain-lain), atau Hutan Tanaman Industri (HTI).
Egosektoral
Pengembangan agroforestri menuntut adanya kerjasama yang baik antara kehutanan dan pertanian (dalam arti luas).  Akan tetapi, khususnya di Indonesia, terjadi pembagian administrasi yang sangat jelas antara sektor pertanian dan kehutanan.  Meskipun dari sisi pengetahuan dan semangat untuk mengembangkan agroforestri di masing-masing sektor sangat besar, kesulitan sering terjadi pada taraf implementasinya (mulai dari perencanaan hingga pelaksanaannya di lapangan).  Hal tersebut karena kesulitan melaksanakan koordinasi antar berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda, yang terkait dengan kebijakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab teknis dan finansial.  Padahal di sisi lain, untuk membentuk agroforestri menjadi sektor dan memiliki departemen sendiri sangat tidak dimungkinkan. Kondisi ini mengakibatkan pengembangan agroforestri hingga saat ini lebih banyak berhasil dalam konteks penelitian dan uji-coba pada skala yang terbatas.  Keberhasilan itupun juga belum optimal, karena tidak adanya dukungan kebijakan yang diperlukan, tidak terkecuali pada fase pasca panen dan pemasaran dari keseluruhan produk yang dihasilkan.

0 tinggalkan jejak anda, dengan menanggapi postingan:

Posting Komentar

sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???